Laporan Praktikum Algologi



LAPORAN PRAKTIKUM LAPANG
ALGOLOGI


Disusun sebagai syarat untuk mengikuti responsi mata kuliah Algologi pada Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Jenderal Soedirman
Oleh :
Kelompok 3
Pandu Wakca Alamsyah            H1K014003
Wanda Avia Pasha                     H1K014008
Rois Ferdinansyah                     H1K014024
Arif Nur Faozi                           H1K014030
Kutriyani                                    H1K014037

Asisten : Beny Heriswan



KEMENTRIAN RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2016

KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktikum Lapang mata kuliah Algologi. Makalah ini disusun sebagai syarat responsi dari mata kuliah Algologi.
Dalam penyusunan laporan praktikum ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah memberikan sarannya demi terselesaikan laporan praktikum mata kuliah Algologi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Maria Dyah Nur Meinita selaku pengampu mata kuliah Algologi
2. Tim Asisten
3. Teman-teman Ilmu kelautan 2014

Penulis sadar bahwa dalam pembuatan laporan praktikum ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca sekaliandemi perbaikan laporan di tahun depan. Semoga laporan praktikum ini bermanfaat bagi pembaca sekaligus bagi penulis. Akhir kata kami ucapkan terima kasih.












I.                   PENDAHULUAN
1.1  Latar Belakang
Pantai Teluk Awur Jepara merupakan pantai di pesisir Pulau Jawa bagian Utara. Pantai Teluk Penyu merupakan obyek wisata alam yang cukup terkenal di Kabupaten Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Menurut Nybakken (1992) daerah pantai merupakan zona intertidal atau zona litoral yaitu daerah yang terletak antara pasang tertinggi dan surut terendah. Daerah ini merupakan zona yang melimpah dengan kehidupan, khususnya mikroalga dan makroalga karena masih dapat terkena cahaya matahari. Cahaya matahari tersebut selanjutnya akan digunakan oleh fitoplankton dan makroalga untuk fotosintesis.
Alga merupakan protista yang berthalus memiliki pigmen dan klorofil. Tubuhnya terdiri atas satu sel (uniseluler) dan ada pula yang banyak sel(multiseluler). Alga uniseluler umumnya sebagai fitoplankton, sedangkan algamultiseluler dapat hidup sebagai nekton dan bentos. Habitat alga adalah air atau ditempat basah, sebagai epifit atau sebagai endofit.
Manfaat mikroalga bagi organisme lainnya adalah sebagai dasar dari rantaimakanan alami, mikroalga memainkan peran kunci dalam budidaya. Terutama menjadi sumber makanan untuk larva dari beberapa spesies moluska, crustacea dan ikan. Selain itu, mikroalga berfungsi sebagai sumber makanan untuk produksi zooplankton (rotifera, copepoda), yang pada gilirannya digunakan sebagai pakan untuk pemeliharaan larva ikan. Lebih dari 40 spesies mikroalga digunakan dalam akuakultur di seluruh dunia, tergantung pada kebutuhan khusus produksi makanan laut lokal. Selain untuk pakan larva dan zooplankton, jenis mikroalga khusus (Spirulina dan Chlorella) biasa dijadikan tambahan untuk komposisi pakan ikan, sehingga pasaran mikroalga makin menjanjikan.
Sedangkan makroalga merupakan salah satu sumber daya hayati laut yang bernilai ekonomi dan memiliki manfaat yang baik untuk manusia dan lingkungan sekitarnya. Manfaat makroalga bagi manusia adalah sebagai bahan makanan, bahan dasar kosmetik, dan bahan pembuatan obat. Selain itu, makroalga bermanfaat bagi lingkungan sekitarnya karena dapat memproduksi zat-zat organik melalui proses fotosintesis yang bermanfaat bagi ekosistem laut.

1.2  Tujuan
1.    Mahasiswa dapat memahami dan melakukan pengambilan sampel makroalga
2.    Mahasiswa dapat memahami dan melakukan pengambilan sampel mikroalgae
3.    Mahasiswa dapat mengidentifikasi algae baik makroalgae maupun mikroalgae dengan pengamatan ciri morfologi pada saat pengamatan habitat aslinya, dan mahasiswa dapat melakukan teknik pengawetan basah dan kering sampel algae.
4.    Mahasiswa dapat memahami dan melakukan teknik isolasi dan kultur mikroalgae.
5.    Mahasiswa dapat memahami dan melakukan teknik kultur makroalga dan mengamati pertumbuhan makroalga.

1.3  Manfaat
Dengan adanya praktikum lapang mata kuliah Algologi ini praktikan dapat mengetahui, memahami dan melakukan bagaimana mengenal baik makroalga dan mikroalga, pengambilan samel makroalga dan mikroalga, mengidentifikasi makroalga dan mikroalga, pengawetan makroalga serta teknik isolasi dan kultur mikroalga.






II.                TINJAUAN PUSTAKA
2.1    Teluk Awur
Teluk Awur merupakan sebuah desa di kecamatan Tahunan, Jepara, Jawa Tengah, Indonesia. Secara geografis Teluk Awur terletak di Sebelah Utara berbatasan dengan desa Laut Jawa, sedangkan di sebalah selatan berbatasan dengan desa Semat, pada sebelah barat berbatasan dengan desa Laut Jawa, Serta di sebelah timur berbatasan dengan desa Platar dan Demangan. Perairan  ini  terletak antara 110° 30′ BT – 110° 35′ BT dan 6° 47′ LS. Desa Teluk Awur memiliki pantai yang terletak 4 km ke arah selatan dari pusat kota Jepara. Pesisir pantainya yang terkenal sangat panjang dan berpasir putih.  Pantai Teluk Awur memiliki air yang cukup jernih karena jauh dari lalangnya perahu dan kapal. Teluk Awur termasuk dalam wilayahadministratif Kabupaten Jepara yang terletak di sebelah utara Kampus Lima Kelautan Universitas Diponegoro. (Dinas Perikanan Kabupaten Jepara, 2007).       Pantai Teluk Awur merupakan daerah yang rawan terjadi erosi pantai, upaya yang sesuai guna menanggulangi permasalahan tersebut adalah dengan melakukan proteksi pantai dengan pembuatan struktur keras, sehingga kajian dilakukan dengan cara memodelkan perubahan garis pantai dengan penambahan tiga skenario bangunan pelindung pantai. Bentuk pantai Teluk awur yang tanjung merupakan daerah yang paling mudah terkena erosi, karena akan menyebabkan terjadinya pemusatan energi gelombang sehingga tinggi gelombang menjadi lebih besar dari pada daerah teluk (Hariadi, 2011).
2.2    BBAP Jepara
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara selama perkembangannya sejak didirikan mengalami beberapa kali perubahan status dan hierarki. Pada awal berdirinya tahun 1971 lembaga ini diberi nama Reserich Center Udang (RCU) yang berpusat di Bogor dan secara hierarki berada di bawah Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Departemen Pertanian. Sasaran utama lembaga ini adalah meneliti siklus udang dari telur hingga dewasa secara terkendali dan dapat dibudidayakan di lingkungan tambak. Untuk operasional penelitian dimulai pada awal tahun 1973 dengan menggunakan fasilitas yang sebagian telah tersedia. Peresmian lembaga pusat penelitian udang ini dilakukan oleh menteri Pertanian Republik Indonesia prof. Ir. Thoyib Hadiwijaya pada tanggal 29 Juli 1974.
Pada tahun 1977 dilakukan reorganisasi dan lembaga penelitian tersebut berganti namanya menjadi suatu balai dengan nama Balai Budidaya Air Payau (BBAP), dimana secara struktural berada dibawah Direktorat Jendral Perikanan, Departemen Pertanian. Pada periode ini, jenis komoditas yang dikembangkan selain jenis Udang juga ikan bersirip, Echinodermata dan Moluska air. Momentum yang menjadi pendorong bagi perkembangan industri udang secara nasional berawal dari keberhasilan yang diraih BBAP dalam produksi benih udang secara masal. Pada saat itu diawali dengan diterapkannya teknik pematangan gonad dengan cara ablasi mata, sehingga salah satu kendala dalam penyediaan induk matang telur sudah mulai dapat teratasi. Berdasarkan pada surat keputusan Menteri Pertanian No. 06/ Kpts / org /5/1978 maka Balai Budidaya Air Payau Jepara ditetapkan sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat Jendral Perikanan. Pada tahun 2000 setelah terbentuknya Departemen Eksplorasi Laut dan Perikanan, keberadaan BBAP masih dibawah Direktorat Jendral Pertanian. Selanjutnya pada bulan Mei 2001 status BBAP ditingkatkan menjadi eselon II dengan nama Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau yang berada dibawah Direktorat Jendral perikanan budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan (Dinas Perikanan Kabupaten Jepara, 2007).
2.3    Makroalga
Makroalga sebagian besar hidup di perairan laut. Untuk dapat tumbuh, makroalga tersebut memerlukan substrat untuk tempat menempel atau hidup. Makroalga epifit pada benda-benda lain seperti, batu, batu berpasir, tanah berpasir, kayu, cangkang moluska, dan epifit pada tumbuhan lain atau makroalga jenis lain. Makroalga yang banyak di temukan di perairan Indonesia adalah makroalga yang berasal dari kelas Chlorophyceae yaitu sebanyak 12 genus dan dari kelasPhaeophyceae yaitu sebanyak 8 genus. Pertumbuhan makroalga dipengaruhi oleh faktor lingkungan, diantaranya suhu, salinitas, derajat keasaman (pH), kekeruhan, dan oksigen terlarut (dissolved oxygen atau disingkat dengan DO) (Hamsir, 2009).
Makroalga memiliki banyak manfaat, baik manfaat secara ekologis maupun ekonomis bagi masyarakat. Manfaat ekologis makroalga yaitu menyediakan habitat untuk beberapa jenis biota laut seperti jenis krustasea, moluska, echinodermata, ikan maupun alga kecil yang lainnya. Bentuknya yang rimbun mampu memberikan perlindungan terhadap ombak dan juga menjadi makanan bagi biota laut. Nilai ekonomis makroalga dapat dimanfaatkan sebagai bahan pangan, bahan baku industri, dan bahan untuk laboratorium seperti bahan awetan basah, bahan media untuk perkembangbiakan bakteri dan jamur guna menghasilkan antibiotik, serta ada pula jenis makroalga yang digunakan sebagai obat- obatan (Marianingsih, 2013).
Berdasarkan morfologi, makroalga tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara keseluruhan tanaman ini memiliki morfologi yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda. Tubuh makroalga umumnya disebut “thallus”. Thallus merupakan tubuh vegetatif alga yang belum mengenal diferensiasi akar, batang dan daun sebagaimana yang ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi. Thallus makroalga umunya terdiri atas “blade” yang memiliki bentuk seperti daun, “stipe” (bagian yang menyerupai batang) dan “holdfast” yang merupakan bagian thallus yang serupa dengan akar. Pada beberapa jenis makroalga, “stipe” tidak dijumpai dan “blade” melekat langsung pada “holdfast” (Saptasari, 2010).
Makroalga memiliki berapa macam bentuk thallus yang dapat dilihat secara kasat mata. Bentuk thallus tersebut antara lain bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti kantong dan rambut dan sebagainya. Percabangan thallus ada yang dichotomous (bercabang dua terus menerus),pectinate (berderet searah pada satu sisi thallus utama), pinnate (bercabang dua-dua pada sepanjang thallus utama secara berselang seling), ferticillate (cabangnya berpusat melingkari aksis atau sumbu utama dan adapula yang sederhana dan tidak bercabang (Nurmiyati, 2013).
Makroalga memiliki bermacam jenis bentuk holdfast. Perbedaan ini terjadi akibat proses adaptasi terhadap keadaan substrat dan pengaruh lingkungan seperti gelombang dan arus yang kuat yang dapat mencabut holdfast tersebut. Holdfast berbentuk cakram pada substrat yang keras dan berbentuk stolon merambat pada substrat berpasir (Saptasari, 2010).
Berdasarkan pigmen warna yang dimiliki makroalga diklasifikasikan sebagai berikut :
1.      Chlorophyta
Chlorophyta atau alga hijau mempunyai dinding sel klorofil a, klorofil b, dan  betakaroten serta menyimpan produk hasil fotosintesisnya dalam bentuk pati (amilum). Alga hijau sudah tidak diragukan lagi sebagai nenek moyang dari tumbuhan. Alga hijau merupakan makhluk hidup uniseluler dan dapat berkoloni menjadi bentuk multiseluler sederhana (Ferdinand, 2007).
Makroalga divisi Chlorophyta memiliki thallus berbentuk filamen, membran, dan tabung. Makroalga tersebut umumnya menempel pada substrat di dasar perairan laut seperti karang mati, fragmen karang, dan pasir. Chlorophyta memiliki pigmen fotosintetik, berupa klorofil a dan b, karoten, xantofil, violasantin,dan lutein. Cadangan makanan Chlorophyta  berupa pati, inulin, minyak, dan lemak. Dinding sel umumnya mengandung selulosa, hemiselulosa dan sporopolenin. Reproduksi aseksual dilakukan dengan  isogami, oogami, dan konjugasi. Reproduksi aseksual dilakukan dengan pembelahan sel dan fragmentasi thallus (Ferdinand, 2007).
2.      Phaeophyta
Phaeophyta atau alga cokelat, umumnya terdiri atas organisme multiseluler yang hidup dilaut dan mempunyai pigmen xantofil (pigmen warna cokelat). Phaeophyta bersifat autotrof dan menyimpan cadangan makanannya dalam laminarian. Reproduksi seksual Phaeophyta dilakukan dengan oogami, anisogami, seksual, aseksual dilakukan pembelahan sel atau fragmentasi thallus (Rolledaet al., 2004)
Struktur tubuh alga coklat bervariasi mulai dari yang berbentuk filamen hingga yang menyerupai tumbuhan tingkat tinggi. Banyak di antara anggota divisi Phaeophyta merupakan jenis alga dengan ukuran thalus terbesar di dunia, contohnya Macrocystispyrifera yang dapat tumbuh lebih dari 80 meter di pesisir barat California. Pada umumnya alga coklat dapat hidup di laut tumbuh di dasar perairan dan melekat pada substrat dengan menggunakan holdfast. Di Indonesia alga coklat yang umum dijumpaiberasal dari genera Sargassum, Turbinaria, Dictyota dan Padina (Palallo, 2013).
3.      Rhodophyta
Rhodophyta mempunyai pigmen berwarna merah (fikoeritrin) yang sangat banyak. Umumnya, Rhodophyta multiseluler, namun terdapat juga Rhodophyta yang uniseluler, namun terdapat juga Rhodophyta yang uniseluler. Alga merah multiseluler umumnya makroskopis dan struktur tubuhnya menyerupai tumbuhan (thallus). Thallus pada Rhodophyta berupa helaian atau seperti tumbuhan. Siklus hidup Rhodophyta berbeda satu sama lain. Tidak seperti alga lainnya. Untuk kawin, gamet bergantung pada arus air. Banyak anggota Rhodophyta tubuhnya dilapisi kalsium karbonat, misalnya Coralina (Arisandi et al., 2011).
Rhodophyta memiliki warna thallus yang beranekaragam diantaranya  merah, ungu, pirang, coklat dan hijau. Perubahan warna dari warna asli menjadi ungu dapat terjadi apabila alga jenis ini terkena cahaya matahari secara langsung. Alga ini mengandung pigmen fotosintetik berupa karotin, xanthofil, fikobilin dan fikoeretrin penyebab warna merah serta khlorofil a dan d. Dalam dinding sel terdapat sellulosa dan produk fotosintetik berupa karaginan, agar dan lembaran (Palallo, 2013).
Tempat hidup makroalga umumnya di air, baik air tawar, laut maupun air payau. Makroalga dapat tumbuh hampir di semua tempat yang cukup basah dan cukup cahaya untuk berfotosintesis. Menurut Oktaviani (2002) banyak jenis makro alga yang beradaptasi terhadap tipe substrat yang berbeda-beda. Jenis yang menempati subtrat berpasir umumnya memiliki habitat dengan subtrat yang keras (berbatu), memiliki “Holdfast” yang berkembang baik, barcabang-cabang atau berbentuk cakram (discoidal) yang disebut “hapter”, “holdfast” jenis ini mencengkram subtrat dengan kuat dan umumnya dijumpai di daerah yang berarus kuat. Selanjutnya menurut Atmajaya (1999), lokasi dengan habitat pasir kebanyakan ditumbuhi oleh alga hijau terutama Halimeda dan alga coklat seperti Padina dan Sargassum. Selain itu juga ditemukan vegetasi lamun antara lain Enhalus acoroides, Halodule sp. dan Thalassia sp. Pada habitat batu tidak hanya ditemukan alga coklat Turbinaria, Hormophysa dan Sargassum, tetapi juga ditemukan Caulerpa dan Codium dari alga hijau. Halimeda memiliki kemampuan untuk tumbuh dengan cara menancap dan menempel. Tempat hidup makroalga yang paling ekstrim salah satunya adalah jaringan tubuh hewan, khususnya hewan karang. Asmawi (1998) juga mengungkapkan bahwa pada habitat karang mati ditemukan Gracilaria, Eucheuma, Hypnea, Liagora, dan Gelidium, hal ini sesuai dengan kemampuan alga merah untuk menempel kuat pada subsrtat yang keras. Cribb (1996) mengatakan bahwa pada umumnya di sebagian daerah tropis, Valonia banyak ditemukan di antara bongkahan karang mati.
2.4  Mikroalga
Mikroalga merupakan organisme autotrof yang tumbuh melalui proses fotosintesis. Struktur uniseluler mikroalga memungkinkan mengubah energi matahari menjadi energi kimia dengan mudah. Mikroalga dapat tumbuh dimana saja, baik di ekosistem perairan laut maupun perairan tawar. Mikroalga adalah mikroorganisme yang mudah dicerna, sehingga penggunaan mikroalga dalam makanan  atau pakan ternak tidak ada batasan (Handayani, 2012). Mikroalga juga didefinisikan sebagai prokariotik atau eukariotik mikroorganisme fotosintetik yang dapat tumbuh dengan cepat dan hidup dalam kondisi yang keras karena struktur multiseluler uniseluler atau sederhana mereka (Mata, 2009).
Keberadaan mikroalga di Indonesia cukup melimpah. Hal tersebut dikarenakan 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan perairan yang merupakan habitat dari mikroalga itu sendiri. Faktor-faktor lingkungan yang mempengaruhi keberadaan mikroalga  diantaranya pH, oksigen terlarut, fosfat, nitrat, suhu dan salinitas perairan. Selain itu kelimpahan dan distribusi mikroalga juga dipengaruhi oleh fenomena oseanografi seperti upwelling (Ismunarti, 2013).
Mikroalga memiliki kandungan protein yang sangat tinggi, sehingga mikroalga juga dikenal sebagaisingle cell protein (SCP). Sumber SCP yang dikenal masyarakat diantaranya Spirulina maxima dan Chlorella vulgaris. Karbohidrat dalam  mikroalga dapat ditemukan dalam bentuk pati, glukosa, gula dan polisakarida lain-nya. Kandungan lemak rata-rata sel alga bervariasi antara 1% dan 70% tetapi bisa mencapai 90% dari berat kering pada kondisi tertentu. Lemak dalam mikroalga terdiri dari gliserol, asam lemak jenuh atau asam lemak tak jenuh. Komposisi lemak pada masing-masing mikroalga dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti perbedaan nutrisi, lingkungan dan fasa pertumbuhan (Handayani, 2012).

















III.              MATERI DAN METODE
3.1     Materi
3.1.1          Alat
Alat yang digunakan pada praktikum lapang di Teluk Awur yaitu :
Tabel 1. Alat dan Kegunaan Praktikum Lapang
No.
Alat
Kegunaan
1.
Plankton Net
Untuk mengambil sampel fitoplankton
2.
Ember
Untuk mengambil sampel air yang diasumsikan terdapat mikroalga, untuk menyimpan sampel makroalga sebelum diawetkan
3.
Botol film
Untuk menampung sampel yang telah difilter menggunakan plankton net
4.
Pipet tetes
Untuk meletakan sampel dari botol film ke atas object glass
5.
Object dan cover glass
Untuk meletakkan sampel mikroalga yang akan diamati di bawah mikroskop
6.
Mikroskop
Untuk mengamati sampel mikroalga
7.
Buku identifikasi
Untuk mengidentifikasi spesies mikroalga yang terdapat pada sampel
8.
Label
Untuk memberi tanda pada sampel
10.
Tali rafia 50 m
Untuk dibuat sebagai transek line, sebagai penanda wilayah (stasiun) sampling
11.
Transek kuadrat 1x1m2
Untuk mengatahui keanekaragaman jenis makroalga di daerah tersebut dan membatasi wilayah sampling
12.
Toples
Untuk pengawetan makroalga basah
13.
Kardus
Untuk pengawetan makroalga kering dengan cara dipress
14.
Karet
Untuk mengencangkan kardus saat pengepressan makroalga
15.
Label
Untuk memberi tanda pada sampel
16.
Pipet tetes
Untuk menetesi reagen
17.
Tabung Erlenmeyer
Untuk menghomogenkan air dengan reagen
18.
Kertas lakmus dan pH meter universal
Untuk mengukur nilai pH perairan
19.
Termometer
Untuk mengukur temperatur perairan
20.
Handrefraktometer
Untuk mengukur salinitas perairan




3.1.2        Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum lapang di Teluk Awur yaitu :
Tabel 2. Bahan dan Kegunaan Praktikum Lapang
No.
Bahan
Kegunaan
1.
Sampel mikroalga
Sebagai objek yang akan diamati
2.
Formalin 4%
Untuk mengawetkan sampel
3.
Sampel makroalga
Sebagai objek yang dipelajari
4.
Air tawar bersih
Untuk membersihkan makroalga sebeum diawetkan

3.2    Cara Kerja
3.2.1 Sampling Lapangan Makroalga
Tarik tali sepanjang 100 meter, tegak lurus garis pantai
Titik sampling sepanjang tali 100 meter, ditentukan berdasarkan kondisi daerah intertidal yang ada, pada daerah intertidal yang sempit digunakan interval 5 m antar titik sampling, sementara pada daerah yang cukup luas dapat digunakan interval 10 atau 20 m
Letakkan kuadrat transek dengan interval yang sudah ditentukan
Catat jumlah spesies rumput laut yang terdapat dalam kuadran transek pada alat tulis yang dibawa
Ambil masing-masing 1 perwakilan jenis rumput laut yang ada untuk proses identifikasi lebih lanjut di laboratorium, beri keterangan pada masing-masing sampel. Sampel yang didapatkan langsung dikemas pada kantung plastic, ditetesi formalin 4%. Selanjutnya sampel diidentifiikasi di laboratorium dan dikemas kedalam toples selai yang diberi formalin (pengawetan basah)
 


















3.2.2        Sampling Lapangan Mikroalga
Penyaringan mikroalga pada 3 stasiun pengambilan sampel dengan pola tegak lurus dengan garis pantai
Dilakukan dengan mengambil air sebanyak 100 liter dengan menggunakan ember plastic bervolume 10 liter yang dituangkan kedalam plankton net bernomor 25
Sampel air yang tertampung didalam botol sampel untuk kemudian diberi larutan formalin 4% (pengawetan) untuk kemudian sampel dibawa ke Laboratorium untuk di identifikasi secara ex-situ
Sampel yang diperoleh diidentifikasi dengan diamati menggunakan mikroskop sebanyak 10 kali lapang pandang, terlebih dahulu dihomogenkan hingga merata dan air sampel diambil dengan menggunakan pipet tetes
 













3.2.3        Identifikasi dan Teknik Pengawetan Sampel Alga
Identifikasi sampel rumput laut yang ada dengan buku-buku identifikasi yang tersedia
Hitung kerapatan jenis, dan frekuensi kemunculan rumput laut
Hitung indeks leragaman spesies, dominansi, kekayaan jenis dan indeks kemerataan jenis
 














3.2.4        Isolasi dan Kultur Mikroalga
3.2.4.1 Isolasi Mikroalga
Metode isolasi ini dilakukan dengan meletakkan 3 tetes akuades yang telah diberi medium pada obyek glass.
Kemudian dimasukkan 1 tetes sampel pada tetesan pertama aquades.
Isolasi mikroalga dilakukan dibawah mikroskop, dengan memindahkan mikroalga target (pada tetesan pertama yang mengandung sampel) dengan cara meletakkan pipet kapiler pada target (target akan tersedot dengan sendirinya masuk pipet kapiler)
Kemudian mikroalga target pada pipet kapiler diteteskan pada medium ke-2 dengan cara ditiup, pemindahan target mikroalga terus dilakukan dari tetesan media ke tetesan media berikutnya sehingga memperoleh mikroalga tunggal/monospesies
Mikroalga tersebut dipindahkan kedalam tabung reaksi yang mengandung medium pertumbuhan mikroalga
Kultur diberi pencahayaan selama 24 jam dan dikultur nonaerasi
 



























3.2.4.2 Kultur Mikroalga
Media kultur disesuaikan dengan jenis mikroalga yang akan dikultur, untuk mikroalga payau atau laut biasanya menggunakan medium walne. Setelah itu diberi aerasi dan diletakkan pada rak kultur dengan pencahayaan lampu TL.
Kultur dilakukan dengan menggunakan toples atau Erlenmeyer, selang aerator, batu aerasi, mesin pompa aerator serta sumber cahaya.
Air laut, toples atau Erlenmeyer disterilkan dengan menggunakan autoclave, selang aerator disterilkan dididihkan
Apabila suhu dari air laut yang distrerilkan sudah turun, stock murni dari hasil isolasi dimasukkan pada masing-masing toples.
Selang aerator dipasang dipasang terlebih dahulu, lalu dihubungkan ke mesin aerator dan diberi lampu pencahayaan
 



























3.2.5        Kultur Makroalga
Rumput laut yang diambil dari Pantai Teluk Awur Jepara dibersihkan dari berbagai kotoran yang menempel
Thallus akan digunakan sebagai eksplan adalah bagian ujung yang dipotong dengan panjang 3cm.
Eksplan disterilisasi dengan Betadine 1% dan campuran antibiotic 0.1%. Media yang digunakan adalah air laut steril dengan salinitas 25-30 ppt yang diperkaya dengan pupuk NPK
Pertumbuhan eksplan diamati setiap 7 hari sekali selama 30 hari. Berat thalus ditimbang menggunakan timbangan analitik
Panjang thalus, jumlah holdfast dan panjang holdfast menggunakan bantuan alat timbangan analitik, mikroskop, micrometer dan kapler
 



























IV.             HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Pengamatan Lapang
4.1.1. Microalgae
Kingdom: chromista
Divisi: ocrophyta
Kelas: bacillariophyceae
Ordo:  bacillariales
Famili: bacillariaceae
Genus: Nitzschia

Kingdom: chromista
Divisi: ocrophyta
Kelas: coscirodiscophyceae
Ordo: Chaetocerotales
Famili: chaetocerotaceae
Genus: chaetoceros
Dari hasil yang didapatkan pada praktikum lapang Algologi yang bertempat di Teluk Awur, Jepara, Jawa Tengah. Pengambilan sampel yang menggunakan cara mengambil mikro alga dengan bantuan planktonet, yang dilakukan dipagi hari. Setelah dilakukan pengamatan dengan bantuan mikroskop bahwa hasil mikro alga dari sampel yang telah diambil dari teluk Awur adalah Bidduiphia sp. Coscinodiscus, Cyclotella, Mallomonas, Amphora, Metcshia, Rhizosolenia, Nitzschia, Chaetoceros.
Persebaran mikro alga sangat dipengaruhi oleh temperatur sebuah perairan, dan faktor cahaya. Zooplankton pada saat pagi hari mendominasi permukaan sebuah perairan sedangkan fitoplankton berada dibawah perairan. Fitoplankton akan bertukar posisi dengan zooplankton ketika cahya sudah banyak masuk kedalam sebuah perairan, hal ini disebut juga waktu peralihan. Waktu peralihan antara zooplankton dan fotoplakton berkisar antara jam 9-10 pagi dan 3-4 sore. Pada saat pengambilan sampel yang dilakukan diteluk Awur adalah jam 8-9 pagi hal ini dimungkinkan bahwa zooplankton masih mendominasi sehingga sampel dari yang didapatkan sedikit sekali jenis mikroalga. Hal tersebut karna cahaya yang menyinari masih kurang bagi mikroalga untuk naik keatas permukaan perairan diteluk Awur. Sehingga rata- rata yang mendominasi sampel dari hasil yang didapat adalah Bidduiphia sp. Coscinodiscus, Cyclotella, Mallomonas, Amphora, Metcshia, Rhizosolenia, Nitzschia, Chaetoceros.
Palallo (2013:24) menyatakan bahwa suhu di lautan adalah salah satu faktor penting bagi kehidupan organisme, karena suhu sangat mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun perkembangan dari organismeorganisme tersebut. Secara prinsip suhu yang tinggi dapat menyebabkan protein mengalami denaturasi, serta dapat merusak enzim dan membran sel yang bersifat labil terhadap suhu yang tinggi. Pada suhu yang rendah, protein dan lemak membran dapat mengalami kerusakkan sebagai akibat terbentuknya kristal es dalam sel. Terkait dengan itu, maka suhu sangat mempengaruhi beberapa hal yang terkait dengan kehidupan alga seperti kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, fotosintesis dan respirasi (Palallo,2013).
Dalam kaitannya dengan pertumbuhan, maka suhu optimal bagi pertumbuhan alga berbeda-beda tergantung jenis alga dan lintang tempat dimana alga itu berada. Sebagai contohnya, jenis alga yang berada di daerah kutub dapat tumbuh dengan baik pada suhu 0-100 C, sedangkan jenis alga yang hidup di daerah iklim sedang yang agak dingin dapat hidup dapat tumbuh dengan baik pada suhu 10-150 C. Jenis alga yang hidup di daerah iklim sedang yang agak hangat dapat tumbuh dengan baik pada suhu 10-200 C, sedangkan jenis alga yang hidup di daerah tropis dapat tumbuh dengan baik pada suhu 15-300 C (Romimohtarto, 1999). Dalam kaitannya dengan pembiakkan, maka suhu sangat mempengaruhi pembentukkan gamet dan spora. Suhu yang tinggi dapat menghambat pembentukkan gametangia ordo alga tertentu yang hidup di daerah iklim sedang yang hangat. Selain itu suhu juga dipengaruhi oleh waktu dan periodisitas dimana panjang hari di setiap belahan dunia berbeda berdasarkan garis lintangnya. Pada waktu siang suhu cenderung tinggi sedangkan pada waktu alam suhu menurun.
4.1.2. Macroalgae
Makroalga adalah tumbuhan tidak berpembuluh yang tumbuh melekat pada substrat di dasaran laut. Tumbuhan tersebut tidak memiliki akar, batang, daun, bunga, buah dan biji sejati (Jana, 2006). Makroalga yang dikenal juga sebagai rumput laut merupakan tumbuhan thallus (Thallophyta) dimana organ-organ berupa akar, batang dan daunnya belum terdiferensiasi dengan jelas (belum sejati). Sebagian besar makroalga di Indonesia bernilai ekonomis tinggi yang dapat digunakan sebagai makanan dan secara tradisional digunakan sebagai obat-obatan oleh masyarakat khususnya di wilayah pesisir. Menurut Luning (1990) dalam Palallo (2013), Indonesia memiliki tidak kurang dari 628 jenis makro alga dari 8000 jenis makro alga yang ditemukan di seluruh dunia. Peran makroalga dalam ekologi perairan sebagai produsen primer. Produsen primer adalah organisme yang dapat menghasilkan suatu makanan yang berada pada tingkatan tropic terendah (Odum, 1971). Fungsi utama makroalga adalah sebagai sumber makanan yang kaya akan protein bagi organisme laut itu sendiri ataupun manusia karena makroalga merupakan satu-satunya tumbuhan dengan struktur asam amino lengkap (Hardayanti, 2004).
Klasifikasi Makroalga Berdasarkan Pigmen
1.      Divisi Chlorophyta
Chlorophyta merupakan divisi terbesar dari semua divisi alga, sekitar 6500 jenis anggota divisi ini telah berhasil diidentifikasi. Divisi Cholorophyta tersebar luas dan menempati beragam substrat seperti tanah yang lembab, batang pohon, batuan basah, danau, laut hingga batuan bersalju. Sebagian besar (90%) hidup di air tawar dan umumnya merupakan penyusun komunitas plankton. Sebagian kecil hidup sebagai makro alga di air laut. Divisi Chlorophyta hanya terdiri atas satu kelas yaitu Chlorophyceae yang terbagi menjadi empat ordo yaitu: Ulvales, Caulerpales,Cladophorales, dan Dasycladales (Verheij, 1993 dalam Palallo, 2013).
2.      Divisi Phaeophyta
Makroalga divisi phaeophyta memiliki bentuk thallus lembaran.bulat atau menyerupai batang. Thallus tersebut berwarna coklat, berbentuk filamen bercabang, dan bentuk seperti lembaran daun (Dawes, 1981). Phaeophyta memiliki pigmen fotosintetik berupa klorofil a dan c, fukosantin, dan diatosantin. Cadangan makanan phaeophyta berupa laminaran dan mannitol. Dinding sel umumnya menngandung alginic dan fucinic acid. Contoh Phaeophyta adalah Sargassum fillipendulum, Padina pavonia, Ascophyllum nodosum. Pada umumnya makroalga divisi phaeophyta hidup di zona intertidal yang banyak terdapat batu karang. Ascophyllum nodosum merupakan salah satu contoh makroalga yang hidup diantara batu karang karena bentuk thallusnya sangat rentan terhadap faktor dinamik seperti arus dan pasang surut (Scrosati, 2008). Struktur tubuh alga coklat bervariasi mulai dari yang berbentuk filamen hingga yang menyerupai tumbuhan tingkat tinggi. Banyak di antara anggota divisi Phaeophyta merupakan jenis alga dengan ukuran thalus terbesar di dunia, contohnya Macrocystis pyrifera yang dapat tumbuh lebih dari 80 meter di pesisir barat California. Pada umumnya alga coklat dapat hidup di laut tumbuh di dasar perairan dan melekat pada substrat dengan menggunakan holdfast. Di Indonesia alga coklat yang umum dijumpaiberasal dari genera Sargassum, Turbinaria, Dictyota dan Padina (Sumich, 1992 dalam Palallo, 2013).
3.      Divisi Rhodophyta
Algae merah merupakan kelompok algae yang jenis-jenisnya memiliki berbagai bentuk dari variasi warna. Namun demikian sebagain indikasinya dari segi warna bahwa itu alga merah, adalah antara lain terjadinya perubahan warna dari warna aslinya menjadi ungu pabila algae tersebut terkena panas sinar matahari secara langsung (Atmadja, 1988 dalam Palallo, 2013). Jenis alga ini memiliki bentuk thallus silindris, pipih, dan lembaran.Percabangan mendua arah (dikhotornous) dan membentuk rumpun yang rimbun. Pigmen waarna yang terkandung pada divisi ini dapat berupa klorofil a dan d, fikosianin, fikoeritrin, karoten, dan tetraxantofil. Cadangan makanan pada dirinya berupa floridean starch dan galactoside. Contoh spesies Rhodophyta adalah Gracilaria coronopifolia, Eucheuma spinosum,dan Laurencia poitei. Divisi Rhodophyta pada umumnya hidup pada substrat dasar lumpur dan pasir pada zona intertidal atau zona antara pasang tertinggi dan surut terendah. Salah satu contohnya Hypnea asperi dan Gracilaria foliifera (Indrawati et al., 2007).
2.2.1.      Morfologi
Sumich (1992) dalam Palallo (2013), menyatakan bahwa tubuh makroalga umumnya disebut “tallus”. Talus merupakan tubuh vegetatif alga yang belum mengenal diferensiasi akar, batang dan daun sebagaimana yang ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi. Talus makroalga umunya terdiri atas “blade” yang memiliki bentuk seperti daun, “stipe” (bagian yang menyerupai batang) dan “holdfast” yang merupakan bagian talus yang serupa dengan akar. Pada beberapa jenis makroalga, “stipe” tidak dijumpai dan “blade” melekat langsung pada “holdfast”.
2.2.2.      Habitat
Sebaran makroalga dibatasi oleh daerah litoral dan sub litoral dimana masih terdapat sinar matahari yang cukup untuk dapat melakukan proses fotosintesis. Didaerah litoral merupakan tempat yang cocok bagi kehidupan alga karena terdiri atas batuan (Atmaja dan Sulistijo, 1988).
                                               
 







Kingdom: Chromista
     Phylum: Ochrophyta
          Class: 
Phaeophyceae
               Order:
Dictyotales
                       Family: 
Dictyotaceae
                             Genus: 
Padina
                                         Spesies: Padina sp
Thallus rumput laut dari genus padina, yakni berbentuk seperti kipas, serta membentuk segmen-segmen lembaran tipis (lobus) dengan garis-garis yang cenderung melingkar (radial). Sering ditemukan struktur thallusnya berbentuk terpotong - potong.  Rumput laut padina merupakan salah satu rumput laut coklat yang mengandung kalsium karbonat pada bagian tubuhnya, terlihat dari warna keputih-putihan yang berada pada thallusnya. Padina australis biasa ditemukan di pinggir pantai dan bebatuan.



 





Kingdom: Plantae
    Phylum: 
Chlorophyta
         Class: 
Ulvophyceae
             Order: 
Bryopsidales
                 Family: 
Halimedaceae
                      Genus: 
Halimeda
                            Spesies: Halimeda discoidea
Halimeda discoidea  merupakan alga yang berkapur dan tegak,rimbun yang pertumbuhannya lambat. Halimeda memiliki thallus berbentuk tegak dan memiliki holdfast (akar) yang secara normal melindungi substrat tetapi terkadang juga untuk melindungi kehidupannya pada karang. Thallus pada Halimeda mudah menjadi kapur yang panjangnya mencapai 12 cm dan berbentuk segmen-segmen dengan klasifikasi ringan hingga sedang. Warnanya hijau keputihan dan tingginya mencapai 15 cm.  Halimeda membutuhkan kalsium yang cukup tinggi dan tingkat alkalinitas mirip dengan terumbu karang untuk bertahan hidup. Halimeda juga menyukai intensitas pencahayaan lebih tinggi. Habitatnya hidup di zona pasang surut bagian tengah dengan dasar pasir berlumpur halus. Sering berasosiasi dengan kelompok Halimeda lainnya dan juga tumbuh diantara tanaman lamun dan tersebar merata diseluruh perairan.
 








Kingdom: Plantae
      Phylum:  Chlorophyta
             Class:  Bryopsidophyceae
                    Order:  Bryopsidales
                           Family :  Caulerpaceae           
                                  Genus:   Caulerpa
                                         Spesies:  Caulerpa serrulata
Deskripsi : Thalli berwarna hijau dengan panjang 2-5 cm, stolon bercabang horizontal dan cabang daun tegak dengan panjang 2-3 cm, memiliki luas daun 0,5-1,5 cm dengan marjin dentata,dichotomously bercabang berulang kali, dan banyak memutar serta spiral membungkuk dengan silinder atau menekan ketangkai. Thalli melekat pada substrat dengan rhizoidal menempel cukup erat  berwarna timbul dari sisi ventral dari stolon. Thalli diperkuat oleh sistem internal bercabang ingrowths silinder dinding (trabekula). Umumnya pada substrat batu pasir tertutup air dangkal (kurang dari 5 m)
 








 Kingdom : Chromista
          Phylum :
Ochrophyta
                   Class :
Phaeophyceae
                           Order :
Fucales
                                   Family :
Sargassaceae
                                          Genus :
Sargassum
                                                   Spesies : Sargassum Polycistum
Deskripsi : Ciri-ciri umum dari Sargassum ini adalah bentuk thallus umumnya silindris atau gepeng, cabangnya rimbun menyerupai pohon di darat, bentuk daun melebar, oval, atau seperti pedang, mempunyai gelembung udara (bladder) yang umumnya soliter, ukuran panjang umumnya mencapai 3-7 meter, warna thallus umumnya coklat.
a)      Klasifikasi Galaxaura rugosa
Gambar 4 Galaxaura  rugosa
(www.algaebase.com)
Kingdom : Plantae                                      
   Filum : Rhodophyta
      Kelas : Florideophyceae
         Ordo : Nemaliales
            Famili :Galaxauraceae
               Genus : Galaxaura                                       
                   Spesies : Galaxaura rugosa

Galaxaura rugosa berada di kedalaman mulai dari daerah pasang surut hingga 15 m. Selalu ditemukan pada substrat berbatu. Galaxaura rugosa adalah spesies variabel selama semua fase sejarah hidupnya. Gametophytes mungkin kecil, dengan Pembatalan khas spesies, tetapi seringkali jauh lebih besar dengan permukaan yang halus. Variasi ini juga terlihat dalam sporophyte, dimana filamen assimilatory pendek dan panjang baik dapat diatur dalam whorls berbeda, merata di seluruh talus, atau campuran keduany (Huisman, 1990).
Perairan Teluk Awur mempunyai kondisi perairan yang berbeda, yaitu perairan tertutup dan terbuka. Perbedaan kondisi perairan tersebut menyebabkan perbedaan faktor fisika dan kimia. Akan tetapi faktor yang lebih menonjol pada perairan ini adalah arus dan gelombang. Akibat dari arus dan gelombang tersebut menimbulkan perairan terbuka memiliki turbulensi dan terjadi pengadukan substrat dasar pada perairan tersebut yang akan mempengaruhi alga di dalamnya. Sebagaimana diungkapkan Brafield (1978), gerakan ombak merupakan faktor lingkungan yang dominan beraksi di perairan ini, sehingga banyak organisme mengalami kesulitan menyesuaikan diri. Kekuatan gerakan air berpengaruh pada pelekatan spora pada substratnya. Karakteristik spora dari algae yang tumbuh pada daerah berombak dann berarus kuat umumnya cepat tenggelam dan memiliki kemampuan menempel dengan cepat dan kuat. Sementara itu, algae yang tumbuh didaerah tenang memiliki karakterisik spora yang mengandung lapisan lender, dan memiliki ukuran serta bentuk yang lebih besar. Gerakan air tersebut juga sangat berperan dalam mempertahankan sirkulasi zat hara yang berguna untuk pertumbuhan.
Tabel data pengahatan makroalgao
Transek
Jenis Rumput Laut
Jumlah
Substrat
1
Padina sp
12
Batu Karang
2
Padina sp
15
Batu Karang
3
Padina sp
6
Batu Karang
4
Padina sp
27
Batu Karang
5
Padina sp
27
Batu Karang
6
Padina sp
26
Batu Karang
7
Padina sp
3
Batu Karang
8
Padina sp
8
Batu Karang
9
Padina sp
5
Batu Karang
10
Padina sp
4
Batu Karang
11
Padina sp
9
Batu Karang
12
Padina sp
4
Batu Karang
72
Halimeda
2
Berpasir berlumpur
73
Halimeda
3
Berpasir berlumpur
74
Halimeda
3
Berpasir berlumpur
81
Halimeda
5
Berpasir berlumpur
84
Galaxaura
1
Karang Berpasir
86
Caulerpa
38
Karang Berpasir
88
Halimeda
1
Karang Berpasir
90
Halimeda
5
Karang Berpasir
91
Halimeda
4
Karang Berpasir

Sargassum
70
Karang Berpasir
92
Halimeda
2
Karang Berpasir
93
Caulerpa
3
Karang Berpasir
94
Halimeda
18
Karang Berpasir
95
Halimeda
40
Karang Berpasir
96
Sargassum
20
Karang Berpasir
97
Sargassum
15
Karang Berpasir
98
Sargassum
18
Karang Berpasir
99
Sargassum
21
Karang Berpasir
100
Sargassum
30
Karang Berpasir
Dari hasil peraktikum ditemukan beberapa makroalga antar lain Padina sp, Halimeda sp, Galaxaura sp, Caulerpa sp, dan Sargassum. Berdasarkan lokasi penemuan ada kecenderungan masing – masing spesies ditemukan. Pada bagian pantai atau yang lebih mendekat kedaratan banyak ditemukan Padina sp dan terlihaat hanya ditemukan dari 1-12 meter tegak lurus garis pantai, jika dilihat dari substratnya Padina cenderung menempel pada pasing berkarang. Kemudian lebih jauh lagi antara 13-71 meter tidah ditemukan makroalga. Namun pada jarak 72-95 lebih beragam ditemukan makroalga antara lain Halimeda, Caulerpa, Galaxaura dan Sargassum, pada lokasi ini lebih didominasi Halimeda. Hal ini sesuai dengan habitat Halimeda yang tinggal di substrat pasir berlumpur, cengkraman holdfast juga lebih kuat sehingga lebih aman terkena ombak. Caulerpa juga ditemukan pada daerah-daerah yang arusnnya luayab kenceng


Tabel 2. karakteristih antisipasi
Kuadran transek
Indeks Keragaman (H')
Indeks Dominansi (ʎ)
Indeks kekayaan Jenis (D)
Indeks Kemerataan Jenis (E)
1
0
1
0
0
2
0
1
0
0
3
0
1
0
0
4
0
1
0
0
5
0
1
0
0
6
0
1
0
0
7
0
1
0
0
8
0
1
0
0
9
0
1
0
0
10
0
1
0
0
11
0
1
0
0
12
0
1
0
0
72
0
1
0
0
73
0
1
0
0
74
0
1
0
0
81
0
1
0
0
84
0
1
0
0
86
0
1
0
0
88
0
1
0
0
90
0
1
0
0
91
0.2102834
0.8963347
0.2323385
0.3033748
92
0.6365142
0.3333333
0.9102392
0.9182958
93
0
1
0
0
94
0
1
0
0
95
0
1
0
0
96
0
1
0
0
97
0
1
0
0
98
0
1
0
0
99
0
1
0
0
100
0
1
0
0

Hasil analisis keanekaragaman rumput laut yang mendominasi lokasi praktikum terlihat bahwa indeks keanekaragaman menunjukan keanekaragaman yang rendah, karena masih dibawah 1 (Arfa, 2008). Angka menunjukan rentang antara 0-0.918. hampir setiap kuadran kosong dan hanya terdapat 1 spesies. Indeks dominasi juga menunjukan nilai 0. Keanekaragama makrolaga sangat rendah karena kesamaan jenis substrat di Teluk Awur sehingga sedikir alga yang mau tumbuh (Arfa, 2013). Kesamaan jenis substrat yakni dominan pasir berlumpur dan berkarang, sehingga ini akan menjadi faktor pembatas bagi makroalga yang tidak cocok terhadap substrat tersebut.



4.2. KULTUR
4.2.1. Kultur Makroalga
Kultur rumput laut merupakan upaya meningkatkan produksi dari dengan cara memperhatikan faktor-faktor yang mendukung rumput laut tumbuh secara optimal. Budidaya rumput laut C. racemose dipengaruhi oleh beberapa parameter seperti parameter fisika dan kimia. Parameter fisika yang berpengaruh, meliputi: suhu, intensitas cahaya, arus, gelombang, pasang surut dan Muatan Padatan Tersuspensi (MPT) serta parameter kimia, seperti pH perairan, salinitas dan oksigen terlarut. Selain itu pemilihan metode yang tepat dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan C. racemosa, karena berperan dalam penentuan intensitas cahaya yang akan diterima oleh rumput laut untuk proses fotosintesis (Suyarno dkk, 2015).
Salah satu faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan rumput laut yaitu nutrien. Rumput laut dapat memenuhi kebutuhan nutrient sendiri ketika di alam bebas, namun untuk budidaya dengan perairan yang dibatasi perlu adanya penambahan nutrien melalui pupuk. Istilah pupuk umumnya berhubungan dengan pupppuk buatan yang tidak hanya berisi unsur hara tenaman dalam bentuk unsur nitrogen, tetapi juga dapat berbentuk campuran yang memberikan bentuk-bentuk ion dari unsur hara yang dapat diabsorpsi oleh tanaman. Untuk memenuhi kebutuhan tanaman secara normal diperukan minimal 3 unsur mutlak, yaitu nitrogen, fosfor dan kalium atau NPK (Higgins, 2004 dalam Amini dan Syamdidi, 2006).
Pada kultur makroalga digunakan pupuk NPK untuk memperkaya nutrient. Npk merupak pupuk majemuk, yaitu pupuk yang mengandung lebih dari satu unsur. Pupuk NPK memiliki arti ganda, karena berisi zat-zat pokok seperti nitrogen, fosfor dan kalium dalam jumlah tertentu seperti TSP. TSP (Triple Super Fosfat) merupakan pupuk anorganik yang kaya akan kandungan fosfat (Amini dan Syamdidi, 2006).


Grafik pertumbuhan makroalgae

Tabel 3. Pertumbuhan makroalgae
Nama
Minggu ke 0
Minggu ke 1
Minggu ke 2
Minggu ke 3
Coulerpa sp.
5.3
4.78
3.14
2.99
Sargasum sp.
4.27
2.76
3.3
0.25
Dari grafik diatas dapat diketahui bahwa pertumbuhan Coulerpa sp dan Sargassum sp menurun pada setiap minggunya hal ini bisa dikarenakan kurang beradaptasinya Coulerpa sp dan Sargassum sp terhadap perubahan parameter kualitas air pada habitat awalnya. Parameter tersebut diantaranya
pH
Kondisi asam atau basa pada perairan ditentukan berdasarkan nilai pH dengan nama lain Power of Hydrogen (Nordstrom,2000). Menurut baku mutu perairan untuk biota laut (2004) berkisar antara 7 - 8.5 yang mana pH 7 merupakan pH normal. Menurut Biebl (1962) dalam Effendi (2009) kisaran pH yang layak untuk pertumbuhan alga adalah 6.3-10 ppt.

Salinitas

Salinitas adalah banyaknya zat terlarut. Zat padat terlarut meliputi garam-garam anorganik, senyawa-senyawa organik yang berasal dari organisme hidup, dan gas-gas terlarut (Nybakken,1992). Ciri paling khas pada air laut yang diketahui oleh semua orang ialah rasanya yang asin. Ini disebabkan karena didalam air laut terlarut garam-garam yang paling utama adalah natrum klorida (NaCl) yang sering disebut garam dapur. Selain NaCl, di dalam air laut terdapat pula MgCl2, kalium, kalsium dan sebagainya. Salinitas adalah jumlah berat semua garam (dalam gram) yang terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan ppt (part per thousand), salinitas optimum menurut baku mutu perairan untuk biota laut (2004) sekitar 33-34 ppt. Toleransi salinitas untuk biota laut sampai 30 ppt.  Salinitas optimum untuk pertumbuhan alga berkisar antara 28-34 ppt (Nontji,1986). Namun ada jenis biota laut yang dapat hidup pada kisaran salinitas yang besar, contohnya Fucus sp. Yang dapat hidup pada kisaran salinitas 8-34 ppt (Luning, 1990 ; Effendi 2009).
Di perairan pantai karena terjadi pengenceran misalnya karena pengaruh aliran sungai salinitas bisa turun rendah. Sebaliknya di daerah dengan penguapan yang sangat kuat, salinitas bisa meningkat tinggi. Air payau adalah istilah umum yang digunakan untuk menyatakan air yang salinitasnya antara air tawar dan air laut. Perairan estuari atau daerah sekitar kuala dapat mempengaruhi struktur salinitas yang kompleks, karena selain merupakan pertemuan antara air tawar yang relatif ringan dan air laut yang lebih berat juga pengadukan air sangat menentukan (Nontji,1986).
Suhu
Temperatur secara fisika dinyatakan dalam satuan 0C. Temperature  optimum perairan laut untuk biota laut sekitar 28-30 0C (Nyabkken, 1992).  Menurut Luning (1990 ; Effendi 2009),  temperatur optimal untuk pertumbuhan algae di daerah tropis adalah 15 ºC–30 ºC. Dawson  (1966) menyatakan bahwa pertumbuhan yang baik untuk alga di daerah tropis adalah 20 ºC – 30 ºC.Sedangkan Koesbiono (1974) ; Effendi (2009), menyatakan bahwa temperatur merupakan salah satu faktor pembatas yang penting dalam lingkungan bahari.
Perubahan temperatur air laut disebabkan oleh perpindahan panas dari massa yang satu ke massa yang lainnya. Kenaikan temperatur permukaan laut disebabkan oleh radiasi dari angkasa dan matahari, konduksi panas dari atmosfir, dan kondensasi uap air. Sedangkan penurunan temperatur permukaan laut disebabkan oleh radiasi balik permukaan laut ke atmosfir, konduksi balik panas ke atmosfir dan evaporasi (penguapan). Matahari mempunyai efek yang paling besar terhadap perubahan suhu permukaan laut (Djunarsjah,2005).

Kedalaman

Kedalaman merupakan faktor yang mempengaruhi distribusi biota akuatik khususnya fitoplankton, hal ini berkaitan dengan intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolam air. Kedalam dalam suatu perairan laut berbeda-beda, kedalaman didaerah tepi biasanya dangkal dan semakin ketengah semakin dalam. Adanya perbedaan kedalaman ini juga menyebabkan perbedaan kecerahan suatu perairan, karena kecerahan mempengaruhi penerimaan intensitas cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan. Kedalaman permukaan antara 0-30 meter, paparan benua memiliki kedalaman 200 meter, abyssal memiliki kedalaman 500 meter dan palung memiliki kedalaman 10.000 meter (Goldman,1983).
Menurut Wibisono, (2005) menyatakan bahwa kedalaman suatu perairan didasari pada relief dasar dari perairan tersebut. Perairan yang dangkal kecepatan arus relatif cukup besar dibandingkan dengan kecepatan arus pada daerah yang lebih dalam (Odum,1979). Semakin dangkal perairan semakin dipengaruhi oleh pasang surut, yang mana daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut mempunyai tingkat kekeruhan yang tinggi.

 DO (Dissolved Oxygen)

Dissolved oxygen atau oksigen terlarut sangat menentukan kehidupan biota perairan. Oksigen merupakan akseptor elektron dalam reaksi respirasi, sehingga banyak dibutuhkan oleh biota aerobik. Oksigen juga memengaruhi kelarutan dan ketersediaan berbagai jenis nutrien dalam air. Kondisi oksigen terlarut yang rendah memungkinkan adanya aktivitas bakteri anaerobik pada badan air. Oksigen terlarut dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain penutupan vegetasi, BOD (Biological Oxygen Demand), perkembangan fitoplankton, ukuran badan air, dan adanya arusangin. Pengukuran oksigen terlarut bisa dilakukan dengan metode sensor oskigenelektronik dan titrasi Winkler. Hasil pengukuran berada pada satuan persen (%) dan mg/L. Kandungan oksigen terlarut yang optimal bagi kehidupan biota laut adalah 4-8 ppm.
Pengukuran dilakukan pada variasi siang dan malam serta pada musim yang berbeda. Penentuan siang malam menentukan disebabkan karena adanya aktivitasrespirasi dan fotosintesis pada siang hari, sedangkan musim untuk mengetahuipengaruh perbedaan aktivitas makhluk hidup tergantung musim pada kadar oksigen terlarut. Menurut Nyabakken (1992) kadar oksigen  perairan laut yang menunjang untuk kehidupan biota laut adalah 5 ppm.



4.2.2. Kultur Mikroalga
Gambar 1. Grafik pertumbuhan Spirullina sp
Pada hari ke 1 pertumbuhan mikroalga mengalami peningkatan yang signifikan baik pada ulangan ke 1, 2, maupun ke 3. Selanjutnya pada hari ke 2 terjadi penurunan jumlah mikroalga, namun terjadi peningkatan yang signifikan pada hari ke 3 dimana jumlah Spirulina sp. mencapai kondisi pertumbuhan yang optimal dengan jumlah tiap 1 tetes mencapai 10914,2 pada ulangan pertama, 10454,4 pada ulangan kedua dan 12511,4 pada ulangan ketiga. Dan pada hari ke 4 sampai 5 terjadi penurunan jumlah Spirulina sp. Dalam penelitian yang dilakukan oleh Sari (2012) didapat bahwa hasil kultivasi Spirulina platensis juga mengalami peningkatan yang signifikan pada hari ke 3, namun pada hari ke 4 dan kelima meningkat secara teratur. Perbedaan tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya aerasi yang kurang stabil sehingga dalam nutrisi dan kandungan oksigen yang tersebar tidak merata karena proses pengadukan oleh aerasi.
Gambar 2. Grafik pertumbuhan Chlorella sp
            Pertumbuhan mikroalga Chlorella sp. pada hari ke-1 mengalami peningkatan jumlah pada ulangan ke 1 maupun ke 2 sedangkan pada ulangan ke 3 pertumbuhan mengalami penurunan yang teratur. Pada hari ke 4 terjadi fase eksponensial dengan jumlah pertumbuhan yang cukup signifikan. Pertumbuhan paling tinggi didapat pada hari ke 5 dengan jumlah per tetes 21812500 pada ulangan ke 1, 26062500 pada ulangan ke 2, 26000000 pada ulangan ke 3. Penelitian yang dilakukan oleh Widiyanto dkk. (2014) membuktikan bahwa pertumbuhan Chlorella sp pada media toples meningkat pada hari ke 4 dan ke 5. Namun terjadi penurunan jumlah ketika media yang digunakan adalah media air payau. Pengaruh media sangat besar terhadap pertumbuhan mikroalga karena dalam media terdapat faktor pembatas seperti suhu, pH, kadar Oksigen terlarut, intensitas cahaya yang didapat, dan nutrisi bagi pertumbuhan Chlorella sp.


·         FAKTOR KULTIVASI MIKROALGA
Kultivasi mikroalga dipengaruhi oleh beberapa faktor umum seperti faktor eksternal (lingkungan) yang biasa dikenal. Faktor-faktor lingkungan tersebut berpengaruh terhadap laju pertumbuhan dan metabolisme dari makhluk hidup mikro ini. Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman atau pH digambarkan sebagai keberadaan ion hidrogen. Variasi pH dalam media kultur dapat mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan kultur mikroalga antara lain mengubah keseimbangan karbon anorganik, mengubah ketersediaan nutrien dan mempengaruhi fisiologi sel. Kisaran pH untuk kultur alga biasanya antara 7-9, kisaran optimum untuk alga laut berkisar antara 7,8-8,5. Secara umum kisaran pH yang optimum untuk kultur mikroalga adalah antara 7–9. Semakin tinggi kerapatan sel pada medium kultur menyebabkan kondisi medium kultur meningkat tingkat kebasaannya (pH semakin tinggi) dan hal itu menyebabkan peningkatan CO2 terlarut dalam medium kultur (Wijanarko dkk, 2007).
2. Salinitas
Kisaran salinitas yang berubah-ubah dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroalga. Beberapa mikroalga dapat tumbuh dalam kisaran salinitas yang tinggi tetapi ada juga yang dapat tumbuh dalam kisaran salinitas yang rendah. Namun, hampir semua jenis mikroalga dapat tumbuh optimal pada salinitas sedikit dibawah habitat asal. Pengaturan salinitas pada media yang diperkaya dapat dilakukan dengan pengenceran dengan menggunakan air tawar. Kisaran salinitas yang paling optimum untuk pertumbuhan mikroalga adalah 25-35‰ (Sylvester etal., 2002).
3. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor penting yang mempengaruhi pertumbuhan mikroalga. Perubahan suhu berpengaruh terhadap proses kimia, biologi dan fisika, peningkatan suhu dapat menurunkan suatu kelarutan bahan dan dapat menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme dan respirasi mikroalga di perairan. Secara umum suhu optimal dalam kultur mikroalga berkisar antara 20-24 0C. Suhu dalam kultur diatur sedemikian rupa bergantung pada media yang digunakan. Suhu di bawah 16 oC dapat menyebabkan kecepatan pertumbuhan turun, sedangkan suhu diatas 36 oC dapat menyebabkan kematian (Taw, 1990).
4. Cahaya
Cahaya merupakan sumber energi dalam proses fotosintesis yang berguna untuk pembentukan senyawa karbon organik. Intensitas cahaya sangat menentukan pertumbuhan mikroalga yaitu dilihat dari lama penyinaran dan panjang gelombang yang digunakan untuk fotosintesis. Cahaya berperan penting dalam pertumbuhan mikroalga, tetapi kebutuhannya bervariasi yang disesuaikan dengan kedalaman kultur dan kepadatannya. Pada kondisi gelap, mikroalga tidak melakukan proses sintesa biomassa melainkan mempertahankan hidupnya dengan cara melakukan respirasi sel sehingga medium kultur menjadi jenuh oleh senyawa karbonat yang tidak dimanfaatkan mikroalga. Hal ini menyebabkan pengurangan proses transfer gas CO2 ke dalam medium kultur (Wijanarko dkk, 2007). Namun pada akhirnya antara kondisi terang maupun gelap menghasilkan produksi biomassa yang konstan karena CTR (Carbon Transfer Rate) pada umumnya memiliki nilai yang tinggi pada awal masa pertumbuhan dimana konsentrasi das CO2 di dalam medium kultur masih di bawah ambang kejenuhan, sehingga gas CO2 lebih mudah larut dalam medium kultur. Selain itu, kenaikan jumlah sel yang sangat besar mempertinggi penyerapan gas yang terlarut dalam bentuk HCO3- oleh mikroalga. CTR kemudian akan cenderung menurun seiring dengan waktu karena terjadinya ketidaksetimbangan antara peningkatan jumlah sel dengan besarnya biofiksasi CO2 yang mengakibatkan produksi biomassa menjadi konstan kemudian menurun.
5. Karbondioksida
Karbondioksida diperlukan oleh mikroalga untuk memenbantu proses fotosintesis. Karbondioksida dengan kadar 1-2% biasanya sudah cukup digunakan dalam kultur mikroalga dengan intensitas cahaya yang rendah. Kadar karbondioksida yang berlebih dapat menyebabkan pH kurang dari batas optimum sehingga akan berpengaruh terhadap pertumbuhan mikroalga (Taw, 1990). Menurut Wilde dan Benemann (1993), semakin tinggi laju alir gas CO2 maka semakin tinggi laju pertumbuhan mikroalga dan produktivitas biomassanya. Mikroalga dapat menyerap CO2 pada kisaran pH dan konsentrasi gas CO2 yang berbeda. Efisiensi dari penyerapan CO2 oleh mikroalga tergantung dari pH kultivasi dan dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi gas CO2. Semakin tinggi konsentrasi gas CO2 maka semakin besar pula pembentukan biomassa yang terjadi. Gas CO2 diserap oleh mikroalga dan digunakan untuk proses biofiksasi menghasilkan. Menurut Benemann (1997), penggunaan karbondioksida pada kultivasi  mikroalga memiliki beberapa keuntungan, seperti mikroalga tumbuh di air, lebih  mudah diamati pertumbuhannya daripada tumbuhan tingkat tinggi, mikroalga dapat tumbuh sangat cepat dan mikroalga tidak membutuhkan tempat atau lahan  yang sangat luas untuk tumbuh. Untuk organisme seperti mikroalga, karbondioksida merupakan faktor yang penting yang mempengaruhi pertumbuhan  dan metabolism mikroalga.
6. Nutrien
Mikroalga memperoleh nutrien dari air laut yang sudah mengandung nutrien yang cukup lengkap. Namun pertumbuhan mikroalga dalam kultur dapat mencapai optimum dengan mencampurkan air laut dengan nutrien yang tidak terkandung dalam air laut tersebut. Nutrien tersebut dibagi menjadi makro nutrien dan mikro nutrien. Unsur makro nutrien terdiri atas N (meliputi nitrat), P (Posfat), K (Kalium), C (Karbon), Si (silikat), S (Sulfat) dan Ca (Kalsium). Unsur mikro nutrien terdiri atas Fe (Besi), Zn (Seng), Cu (Tembaga), Mg (Magnesium), Mo (Molybdate), Co (Kobalt), B (Boron), dan lainnya (Sylvester et al., 2002).
Nutrisi yang mempengaruhi pertumbuhan mikroalga terdiri dari makro dan mikro nutrient. Untuk makro nutrient terdiri dari C, H, N, P, K, S, Mg dan Ca, sedangkan untuk mikro nutrient antara lain Fe, Cu, Mn, Zn, Co, Mo, Bo, Vn dan Si.
7. Aerasi
Aerasi dalam kultivasi mikroalga digunakan dalam proses pengadukan media kultur. Pengadukan sangat penting dilakukan bertujuan untuk mencegah terjadinya pengendapan sel, nutrien tersebar dengan baik sehingga mikroalga dalam kultur mendapatkan nutrien yang sama, mencegah sratifikasi suhu, dan meningkatkan pertukaran gas dari udara ke media (Taw, 1990).
1.     
Spirulina sp.
          Gambar 1. Spirulina sp.                         Gambar 2. Spirulina sp.
   Hasil Laboratorium                                       Hasil Internet
Klasifikasi:

Kingdom 
Eubacteria
            Phylum Cyanobacteria
                        Class Cyanophyceae
                                    Order Spirulinales
                                                Family Spirulinaceae
                                                            Genus Spirulina
                                                                        Spesies Spirulina sp.
                                                                                                          (algabase.org)
Spirulina adalah cyanobacteria berbentuk spiral. Karena dari sifat-sifatnya,seperti nilai gizi yang tinggi dan kehadiran biocompounds berharga, seperti phycocyanin (Moraes et al., 2011), saat ini salah satu dari mikroalga yang paling banyak dipelajari. Hal ini biasanya diproduksi secara komersial di bioreaktorterbuka hingga 0,5 hektare (Belay, 1997), dengan menggunakan sinar mataharisebagai sumber cahaya. Produksi biogas dari pencernaan anaerobic Spirulina biomassa difasilitasi oleh tinggi konsentrasi bahan organik (Costa et al., 2008).Pencernaan anaerobik biomassa menghasilkan limbah, yang mengandung nutrisi penting seperti karbon, nitrogen dan fosfor, dan ini dapat dipulihkan untuk produksi biomassa mikroalga (Converti et al., 2009).
Nutrisi utama yang diperlukan untuk Spirulina budidaya adalah karbon, karena sel-sel mengandung sekitar 50% (w/w) dari elemen ini. Dengan demikian, sumber karbon adalah komponen yang paling mahal dari Spirulina produksi. Untuk pertumbuhan autotrofik (yang lebih cocok untuk skala besar budidaya terbuka) karbon dapat diberikan sebagai CO2, karbonat atau bikarbonat (Borges, 2013). Nitrat (NO3-) merupakan senyawa nitrogen utama yang diserap olehberbagai mikroalga termasuk Spirulina sp. untuk pertumbuhannya. Nitrat akan direduksi oleh nitrit reduktase menjadi nitrit (NO2-) yang kemudian direduksi menjadi amonium (NH4+) sehingga dapat memasuki jalur sintesis berbagaisenyawa amino, yaitu asam glutamat, asam aspartat dan asparagin (Suantika dan Hendrawandy, 2009).
2.     
Chlorella sp.
    Gambar 3. Chlorella sp.                        Gambar 4. Chlorella sp.
  Hasil Laboratorium                                       Hasil Internet
Classification: 
            Kingdom Plantae
                        Phylum Chlorophyta
                                    Class Trebouxiophyceae
                                                Order Chlorellales
                                                            Family Chlorellaceae
                                                                        Genus Chlorella
                                                                                    Spesies Chlorella sp.
(Algabase.org)
Bentuk sel bulat atau bulat telur, merupakan alga bersel tunggal, tetapi kadang-kadang dijumpai bergerombol. Diameter selnya berkisar 2-8 mikron, berwarna hijau karena klorofil merupakan pigmen yang dominan, dinding selnya keras terdiri atas selulosa dan pectin. Sel ini mempunyai protoplasma yang berbentuk cawan.
Chlorella bersifat kosmopolit yang dapat tumbuh dimana-mana, kecuali pada tempat yang sangat kritis bagi kehidupan. Alga ini dapat tumbuh pada salinitas 0-35 ppt. salinitas 10-20 ppt merupakan salinitas optimum untuk pertumbuhan alga ini. Alga ini masih dapat bertahan hidup pada suhu 400C, tetapi tidak tumbuh. Kisaran suhu 25-300C merupakan kisaran suhu yang optimal.
Alga ini berproduksi secara aseksual dengan pembelahan sel, tetapi juga dapat dengan pemisahan utospora dari sel induknya. Reproduksi sel ini diawali dengan pertumbuhan sel yang membesar. Periode selanjutnya adalah terjadinya peningkatan aktivitas sintesa sebagai bagian dari persiapan pembentukan sel anak, yang merupakan tingkat pemasakan awal. Tahap selanjutnya terbentuk sel induk muda yang merupakan tingkat pemasakan akhir, yang akan disusul dengan pelepasan sel anak.

Teknik Kultur Mikroalga
1.      Spirulina sp.
Teknik kultur harus didasari pengetahuan biologi organisme yang akan dibudidayakan. Sel milcoalga Spirulina platensis membentuk filamen terpiliru menyerupai spiral (helig), warna hijau biru. Filamen terdiri dari beberapa sel dalam satu rangkaian. Sel berbentuk silindris dengan dinding sel tipis. Garis tengah sel 1- 12 p. Bergerak dengan cara menggelinding, Hidup di tereshial, air tawar, air payau dan air laut. Cenderung bersifat alkali. pH optimum 7,2-9,5 (tahan pada pH 11). Tahan pada kadar garam tinggi hingga 85 %o, kisaran temperature optimum 25-35C. Reproduksi dengan cara membelah did. Prinsip kultur diawali dari kultur mumi (monospesifik spesies) dimulai dari isolasi, kemudian pengembangan secara bertingkat. Media kultur dari beberapa milimeter, berangsur-angsur meningkat ke volume lebih besar hingga ke skala massal. Kultur skala semi massal (semi out-door) dimulai dali 20 I hingga 100 I dalam wadah besar, pada umumnya menggunakan akuarium atau bak-bak papan/ plasttlq yang diletakkan di luar laboratorium. Inokulum yang dimasukkan sekitar l/10 bagian dari total volume budidaya. Media pertumbuhan rmtuk kulttr mikroalga pada skala semi massal dapat menggunakan media seperti kultur skala laboratorium atau menggunakan pupuk dengan komposisi sebagai berikut: Urea 80 ppm, TSP 30 < ppm, ZA 20 ppm, FeCl3 2 ppm, EDTA 5 ppm dan Vitamin Bl2 0,001 ppm. Selain itu dapat menggunakan pupuk organik.
2.      Chlorella sp.
Pada skala laboratorium ,peningkatan volume kultur bertahap dari mulai tabung reaksi bervolume 10 ml, erlenmeyer 100 ml,1000 ml sampai 5000 ml.Setelah mencapai  volume 5 liter, kultur mikroalga telah siap untuk digunakan sebai inokulan bagi tahap intermediet.
Tahap intermediet umumnya dilakukan di luar laboratorium dengan menggunakan wadah akuarium,galon atau plastik. Dalam tahap ini juga dilakukan peningkatan volume kultur secara bertahap dari mulai 20 liter hingga 500 liter. Kultur dengan volume lebih dari 50 liter umumnya dilakukan di dalam bak fiber yang berwarna bening atau plastik yang berukuran besar dan tebal.
Setelah melalui tahap intermediet, volume kultur ditingkatkan lagi melalui kulter massal. Pada skala ini, kultur dilakukan di dalam (indoor) atau diluar ruangan (outdoor) dengan menggunakan wadah bak beton atau bak fiber. Tahapan-tahapan dalam budidaya mikroalga pada skala intermediet dan massal umumnya hampir sama dengan budidaya mikroalga pada skala laboratorium kultur murni. Yang membedakan adalah metode sterilisasi dan sumber nutrien yang digunakan.Karena pada skala intermediet dan skala masal, budidaya mikroalga dilakukan dalam jumlah besar maka metode sterilisasi pada skala laboratorium seperti Autoclave dan oven tidak mungkin dilakukan. Pada skala ini metode sterilisasi yang digunakan umumnya adalah metode sterilisasi kimiawi dengan menggunakan larutan klorin atau ozon. Metode yang lain juga umum digunakan adalah dengan radiasi sinar Ultra Violet.
Chlorella bersifat kosmopolit yaitu dapat tumbuh dimana-mana, kecuali pada tempat yang sangat kritis bagi kehidupan. Alga ini dapat tumbuh pada salinitas 0-35 ppt. salinitas 10-20 ppt merupakan salinitas optimum untuk pertumbuhan alga ini. Alga ini masih dapat bertahan hidup pada suhu 400C, tetapi tidak tumbuh. Kisaran suhu 25-300C merupakan kisaran suhu yang optimal. (Hirata, 1981). Kehidupan Chlorella sangat dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan dimana Chlorella tersebut berada. Faktor yang mempengaruhi kehidupan tersebut adalah unsur hara, cahaya matahari, suhu, pH, CO2, dan air. Unsur hara yang dibutuhkan oleh Chlorella berupa unsur hara makro dan unsur hara mikro. Unsur hara makro terdiri dari N, P, K,S, Na, Si, dan Ca, sedangkan unsur hara mikro terdiri dari Fe, Zn, Mn, Cu, Mg, Mo, Co, B dan lain-lain. Setiap unsur hara mempunyai fungsi khusus bagi Chlorella tanpa mengabaikan pengaruh faktor lain. Unsur N, P, dan S sangat penting dalam pembentukan dinding sel Chlorella. (Wirosaputro, 2002).
Cahaya matahari berperan penting untuk proses fotosintesis yang dibutuhkan oleh ChlorellaChlorella banyak menyerap cahaya biru dan merah, keduanya bila bergabung menjadi sinar ultraviolet yang memiliki daya penyembuh dan daya pembersih. Suhu berperan di dalam memacu proses metabolisme dan untuk Indonesia suhu yang optimum berkisar 25-300 C bagi Chlorella. Peranan pH dalam budidaya sangat penting bila dikaitkan dengan kontaminan. kontaminan itu sangat merugikan maka pH dapat diatur guna mengatasinya, yaitu dengan mengatur pH menjadi asam tetapi Chlorella tidak terpengaruh olehnya, pH diusahakan menjadi 4,5-5,6. Ketika pH asam maka kontaminan tidak tahan hidup tetapi Chlorella tidak terpengaruh kehidupannya, sehingga pencegahan kontaminan dapat dikendalikan. (Wirosaputro, 2002).
Dalam pengkulturan Chlorella perlu di perhatikan  sebagai pakan alami ikan adalah: memiliki bentuk dan ukuran yang sesuai dengan mulut ikan, mempunyai nilai gizi yang penting, isi sel padat dan dinding sel tipis, sehingga mudah diserap oleh tubuh ikan, cepat berkembangbiak dan memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap perubahan lingkungan, tidak mengeluarkan zat toksik, tidak bergerak aktif sehingga mudah ditangkap. (Wirosaputro, 2002).
            Alga ini berproduksi secara aseksual dengan pembelahan sel, tetapi juga dapat dengan pemisahan autospora dari sel induknya. Pertumbuhan mikroalga secara umum dapat dibagi menjadi lima fase yang meliputi fase lag (adaptasi atau istirahat), fase eksponensial, fase penurunan kecepatan pertumbuhan (deklinasi), fase stasioner dan fase kematian. Pada fase lag penambahan jumlah densitas mikroalga sangat rendah atau bahkan dapat dikatakan belum ada penambahan densitas. Hal tersebut disebabkan karena sel-sel mikroalga masih dalam proses adaptasi secara fisiologis terhadap media tumbuh sehingga metabolisme untuk tumbuh manjadi lamban. Pada fase eksponensial terjadi penambahan kepadatan sel mikroalga (N) dalam waktu (t) dengan kecepatan tumbuh (μ) sesuai dengan rumus eksponensial. Pada fase penurunan kecepatan tumbuh pembelahan sel mulai melambat karena kondisi fisik dan kimia kultur mulai membatasi pertumbuhan. Pada fase stasioner, faktor pembatas dan kecepatan pertumbuhan bersifat setimbang karena jumlah sel yang membelah dan yang mati sama. Pada fase kematian, kualitas fisik dan kimia kultur berada pada titik dimana sel tidak mampu lagi mengalami pembelahan (Fogg dan Thake, 1987 dalam Edhy et al., 2003).


DAFTAR PUSTAKA


Amini, Sri., dan Syamdidi. 2006. Konsentrasi Unsur Hara Media dan Pertumbuhan Chlorella vulgaris dengan Pupuk Anorganik Teknis dan Analis, Jurnal Perikanan. VII(2): 201-206.

Arfah, Hairanti dan Papalia, Sagur. 2015. Kepadatan Dan Keragaman Jenis Rumput Laut di Perairan Pesisir Teluk Weda, Propinsi Maluku Utara, Jurnak Ilmu dan Teknologi Kelautan. 7(2): 745-755

Benemann JR. 1997. CO2 mitigation with microalgae systems. J En Conv Mgmt.

Dewi, F.C. and Pratomo, A., 2012. STRUKTUR KOMUNITAS FITOPLANKTON DI PERAIRAN SELAT BINTAN PULAU PENGUJAN KECAMATAN TELUK BINTAN KABUPATEN BINTAN.

Dinas Kelautan dan Perikanan Jepara, 2007. Penerapan Best Management Practices (BMP) pada Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius) Intensif. Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau Jepara.

Erlina, A dan Hastuti. 2007. Kultur Plankton. Ditjenka-IDRC : Jakarta

Hariardi. 2011. Analisis Perubahan Garis Pantai selama 10 Tahun Menggunakan CEDAS (Coastal Engineering Design and Analisys System) di Perairan Teluk Awur pada Skenario Penambahan Bangunan Pelindung Pantai. Buletin Oseanografi Marina, Vol. 1: 82 – 94.

Haryadi. 2011. Analisis Perubahan Garis Pantai selama 10 Tahun Menggunakan CEDAS (Coastal Engineering Design and Analisys System) di Perairan Teluk Awur pada Skenario Penambahan Bangunan Pelindung Pantai. Buletin Oseanografi Marina, 1: 82 – 94.

Lakitan, B., 1994. Ekologi. PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta

Palallo, Alfian. 2013. Distribusi Makroalga Pada Ekosistem Lamun Dan Terumbu Karang Di Pulau Bonebatang, Kecamatan Ujung Tanah, Kelurahan Barrang Lompo, Makassar. Skripsi. Universitas Hassanudin.

Romimohtarto, K dan Sri Juwana. 1999. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan Tentang Biota Laut. Penerbit Djambatan. Jakarta.

Sari, Fitria Yuli Anggita, I Made Aditya Suryajaya, Hadiyanto. 2012. Kultivasi Mikroalga Spirulina platensis dalam Media Pome dengan Variasi Konsentrasi Pome dan Komposisi Jumlah Nutrien. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri. Vol. 1(1):487-494.

Silitonga, B, et. Al. 2014. ANALISIS KANDUNGAN BAHAN ORGANIK SEDIMEN DAN MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN SELAT PANJANG KABUPATEN KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU

Sumich. L., 1992. An Introduction To The Biology Of Marine Life. Wmc Brown. Dubuque. Lowa.

Suparmi, Achmad Sahri. 2009. Mengenal Potensi Rumput Laut : Kajian Pemanfaatan Sumber Daya Ruput Laut Dari Aspek Industri Dan Kesehatan. Sultan Agung, XLIV (118).

Suyarno, Raden Rio, dan M. Fachrul AS. 2015. Studi tentang Perbedan Metode Budidaya terhadap Pertumbuhan Rumput Laut Caulerpa, Jurnal Kelautan Tropis. 18(1): 13-19

Sylvester, B., Nelvy, dan Sudjiharno. 2002. Biologi Fitoplankton, Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton. Balai Budidaya Laut Lampung, Lampung.

Taw, N. 1990. Petunjuk Pemeliharaan Kultur Murni dan Massal Mikroalga. Proyek Pengembangan Udang, United nations development Programme, Food and Agriculture Organizations of the United Nations.

Umar, R., 2013. Penuntun Praktikum Ekologi Umum. Universitas Hasanuddin, Makassar. Arfah, Hairand dan Patty, Simon I. 2014. Keanekaragaman Dan Iomassa Makro Algae Di Perairan Teluk Kotania, Seram Barat, Jurnal Illmah Planx. 2 (2): 63-73


Widiyanto, Arfan, Bambang Susilo, Rini Yulianingsih. 2014. Studi Kultur Semi-Massal Mikroalga Chlorella sp Pada Area Tambak dengan Media Air Payau (Di Desa Rayunggumuk, Kec. Glagah, Kab. Lamongan). Jurnal Bioproses Komoditas Tropis Vol. 2 (1):1-7.

Wijanarko dan E. S Murtini. 2007. Ekstraksi danStabilitas Betasianin Daun Darah             (Alternanthera dentata) KajianPerbandingan Pelarut Air : Etanol dan Suhu Ekstraksi. Jurnal Teknologi Pertanian. Vol 8 (3).


Komentar

Postingan populer dari blog ini

LAPORAN PRAKTIKUM IKHTIOLOGI SISTEM PENCERNAAN IKAN

laporan praktikum akustik dan telemetri kelautan : TARGET STRENGTH

Laporan Praktikum Koralogi