LAPORAN PRAKTIKUM ALGOLOGI
LAPORAN
PRAKTIKUM LAPANG
Disusun
sebagai syarat untuk mengikuti responsi mata kuliah Algologi pada Fakultas
Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Jenderal Soedirman
Oleh
:
Kelompok
3
Pandu
Wakca Alamsyah H1K014003
Wanda
Avia Pasha H1K014008
Rois
Ferdinansyah H1K014024
Arif
Nur Faozi H1K014030
Kutriyani H1K014037
Asisten
: Beny Heriswan
KEMENTRIAN
RISET, TEKNOLOGI DAN PENDIDIKAN TINGGI
FAKULTAS
PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
UNIVERSITAS
JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2016
KATA PENGANTAR
Puji syukur kehadirat
Allah SWT atas rahmat dan karunia Nya,
sehingga penulis dapat menyelesaikan Laporan Praktikum Lapang mata kuliah Algologi. Makalah ini disusun
sebagai syarat responsi dari
mata kuliah Algologi.
Dalam penyusunan laporan
praktikum ini penulis mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
memberikan sarannya demi terselesaikan laporan praktikum mata kuliah Algologi. Penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Ibu Maria Dyah Nur Meinita
selaku pengampu mata kuliah Algologi
2. Tim Asisten
3. Teman-teman Ilmu kelautan 2014
Penulis
sadar bahwa dalam pembuatan laporan praktikum ini masih jauh dari kata
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari pembaca
sekaliandemi perbaikan laporan di tahun depan. Semoga laporan praktikum ini
bermanfaat bagi pembaca sekaligus bagi penulis. Akhir kata kami ucapkan terima
kasih.
I.
PENDAHULUAN
Pantai
Teluk Awur Jepara merupakan pantai di pesisir Pulau Jawa bagian Utara. Pantai Teluk Penyu merupakan
obyek wisata alam yang cukup terkenal di Kabupaten
Jepara, Propinsi Jawa Tengah. Menurut Nybakken (1992) daerah pantai merupakan zona intertidal atau zona litoral yaitu daerah yang
terletak antara pasang tertinggi dan surut
terendah. Daerah
ini merupakan zona yang melimpah
dengan kehidupan, khususnya mikroalga
dan makroalga karena masih dapat
terkena cahaya matahari. Cahaya matahari tersebut selanjutnya akan digunakan oleh fitoplankton dan
makroalga untuk fotosintesis.
Alga
merupakan protista yang berthalus memiliki pigmen dan klorofil. Tubuhnya terdiri atas satu sel
(uniseluler) dan ada pula yang banyak sel(multiseluler). Alga uniseluler
umumnya sebagai fitoplankton, sedangkan algamultiseluler dapat hidup sebagai
nekton dan bentos. Habitat alga adalah air atau ditempat basah, sebagai epifit
atau sebagai endofit.
Manfaat
mikroalga bagi organisme lainnya adalah sebagai dasar dari rantaimakanan alami,
mikroalga memainkan peran kunci dalam budidaya. Terutama menjadi sumber makanan untuk larva
dari beberapa spesies moluska, crustacea dan
ikan. Selain itu, mikroalga berfungsi sebagai sumber makanan untuk
produksi zooplankton (rotifera, copepoda),
yang pada gilirannya digunakan sebagai pakan untuk
pemeliharaan larva ikan. Lebih dari 40 spesies
mikroalga digunakan dalam akuakultur di seluruh dunia, tergantung pada kebutuhan khusus produksi makanan
laut lokal. Selain
untuk pakan larva dan zooplankton,
jenis mikroalga khusus (Spirulina dan Chlorella)
biasa dijadikan tambahan
untuk komposisi pakan ikan, sehingga pasaran mikroalga makin menjanjikan.
Sedangkan
makroalga merupakan salah satu sumber daya hayati laut yang bernilai ekonomi dan memiliki manfaat
yang baik untuk manusia dan lingkungan sekitarnya.
Manfaat makroalga bagi manusia adalah sebagai bahan makanan, bahan dasar kosmetik, dan bahan
pembuatan obat. Selain itu, makroalga bermanfaat
bagi lingkungan sekitarnya karena dapat memproduksi zat-zat organik melalui proses fotosintesis yang
bermanfaat bagi ekosistem laut.
1.2 Tujuan[U3]
1. Mahasiswa
dapat memahami dan melakukan pengambilan sampel makroalga
2. Mahasiswa
dapat memahami dan melakukan pengambilan sampel mikroalgae
3. Mahasiswa
dapat mengidentifikasi algae baik makroalgae maupun mikroalgae dengan
pengamatan ciri morfologi pada saat pengamatan habitat aslinya, dan mahasiswa
dapat melakukan teknik pengawetan basah dan kering sampel algae.
4. Mahasiswa
dapat memahami dan melakukan teknik isolasi dan kultur mikroalgae.
5. Mahasiswa dapat memahami dan melakukan teknik kultur makroalga dan
mengamati pertumbuhan makroalga.
1.3 Manfaat
Dengan
adanya praktikum lapang mata kuliah Algologi ini praktikan dapat mengetahui,
memahami dan melakukan bagaimana mengenal baik makroalga dan mikroalga,
pengambilan samel makroalga dan mikroalga, mengidentifikasi makroalga dan
mikroalga, pengawetan makroalga serta teknik isolasi dan kultur mikroalga.
II.
TINJAUAN PUSTAKA
Teluk
Awur merupakan sebuah desa di kecamatan Tahunan, Jepara, Jawa Tengah,
Indonesia. Secara geografis Teluk Awur terletak di Sebelah Utara berbatasan
dengan desa Laut Jawa, sedangkan di sebalah selatan berbatasan dengan desa
Semat, pada sebelah barat berbatasan dengan desa Laut Jawa, Serta di sebelah
timur berbatasan dengan desa Platar dan Demangan. Perairan ini
terletak antara 110° 30′ BT – 110° 35′ BT dan 6° 47′ LS. Desa Teluk Awur
memiliki pantai yang terletak 4 km ke arah selatan dari pusat kota Jepara.
Pesisir pantainya yang terkenal sangat panjang dan berpasir putih. Pantai
Teluk Awur memiliki air yang cukup jernih karena jauh dari lalangnya perahu dan
kapal. Teluk Awur termasuk dalam wilayahadministratif Kabupaten
Jepara yang terletak di sebelah utara Kampus Lima Kelautan
Universitas Diponegoro. (Dinas Perikanan Kabupaten Jepara, 2007). Pantai
Teluk Awur merupakan daerah yang rawan terjadi erosi pantai, upaya yang sesuai
guna menanggulangi
permasalahan tersebut adalah dengan melakukan proteksi pantai dengan pembuatan
struktur keras, sehingga kajian dilakukan dengan cara memodelkan perubahan
garis pantai dengan penambahan tiga skenario bangunan pelindung pantai. Bentuk
pantai Teluk awur yang tanjung merupakan daerah yang paling mudah terkena
erosi, karena akan menyebabkan terjadinya pemusatan energi gelombang sehingga
tinggi gelombang menjadi lebih besar dari pada daerah teluk (Hariadi, 2011).
2.2 Makroalga
Makroalga sebagian besar
hidup di perairan laut. Untuk dapat tumbuh, makroalga tersebut memerlukan
substrat untuk tempat menempel atau hidup. Makroalga epifit pada benda-benda
lain seperti, batu, batu berpasir, tanah berpasir, kayu, cangkang moluska, dan
epifit pada tumbuhan lain atau makroalga jenis lain. Makroalga yang banyak di
temukan di perairan Indonesia adalah makroalga yang berasal dari
kelas Chlorophyceae yaitu sebanyak 12 genus dan dari
kelasPhaeophyceae yaitu sebanyak 8 genus. Pertumbuhan makroalga
dipengaruhi oleh faktor lingkungan, diantaranya suhu, salinitas, derajat
keasaman (pH), kekeruhan, dan oksigen terlarut (dissolved oxygen atau disingkat
dengan DO) (Hamsir, 2009).
Makroalga
memiliki banyak manfaat, baik manfaat secara ekologis maupun ekonomis bagi
masyarakat. Manfaat ekologis makroalga yaitu menyediakan habitat untuk beberapa
jenis biota laut seperti jenis krustasea, moluska, echinodermata, ikan maupun
alga kecil yang
lainnya. Bentuknya yang rimbun mampu memberikan perlindungan terhadap ombak dan
juga menjadi makanan bagi biota laut. Nilai ekonomis makroalga dapat
dimanfaatkan sebagai bahan pangan, bahan baku industri, dan bahan untuk
laboratorium seperti bahan awetan basah, bahan media untuk perkembangbiakan
bakteri dan jamur guna menghasilkan antibiotik, serta ada pula jenis makroalga
yang digunakan sebagai obat- obatan (Marianingsih, 2013).
Berdasarkan morfologi, makroalga
tidak memperlihatkan adanya perbedaan antara akar, batang dan daun. Secara
keseluruhan tanaman ini memiliki morfologi yang mirip, walaupun sebenarnya
berbeda. Tubuh makroalga umumnya disebut “thallus”. Thallus merupakan tubuh
vegetatif alga yang belum mengenal diferensiasi akar, batang dan daun
sebagaimana yang ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi. Thallus makroalga
umunya terdiri atas “blade” yang memiliki bentuk seperti daun, “stipe” (bagian
yang menyerupai batang) dan “holdfast” yang merupakan bagian thallus yang
serupa dengan akar. Pada beberapa jenis makroalga, “stipe” tidak dijumpai dan
“blade” melekat langsung pada “holdfast” (Saptasari, 2010).
Makroalga
memiliki berapa macam bentuk thallus yang dapat dilihat secara kasat mata.
Bentuk thallus tersebut antara lain bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat
seperti kantong dan rambut dan sebagainya. Percabangan thallus ada
yang dichotomous (bercabang dua terus
menerus),pectinate (berderet searah pada satu sisi thallus utama), pinnate
(bercabang dua-dua pada sepanjang thallus utama secara berselang
seling), ferticillate (cabangnya berpusat melingkari aksis atau sumbu
utama dan adapula yang sederhana dan tidak bercabang (Nurmiyati, 2013).
Makroalga
memiliki bermacam jenis bentuk holdfast. Perbedaan ini terjadi akibat proses
adaptasi terhadap keadaan substrat dan pengaruh lingkungan seperti gelombang
dan arus yang kuat yang dapat mencabut holdfast tersebut. Holdfast berbentuk
cakram pada substrat yang keras dan berbentuk stolon merambat pada substrat
berpasir (Saptasari, 2010).
Berdasarkan
pigmen warna yang dimiliki makroalga diklasifikasikan sebagai berikut :
1. Chlorophyta
Chlorophyta
atau alga hijau mempunyai dinding sel klorofil a, klorofil b, dan
betakaroten serta menyimpan produk hasil fotosintesisnya dalam bentuk pati
(amilum). Alga hijau sudah tidak diragukan lagi sebagai nenek moyang dari
tumbuhan. Alga hijau merupakan makhluk hidup uniseluler dan dapat berkoloni
menjadi bentuk multiseluler sederhana (Ferdinand, 2007).
Makroalga
divisi Chlorophyta memiliki thallus berbentuk filamen, membran, dan tabung.
Makroalga tersebut umumnya menempel pada substrat di dasar perairan laut
seperti karang mati, fragmen karang, dan pasir. Chlorophyta memiliki pigmen
fotosintetik, berupa klorofil a dan b, karoten, xantofil, violasantin,dan
lutein. Cadangan makanan Chlorophyta berupa pati, inulin, minyak, dan lemak.
Dinding sel umumnya mengandung selulosa, hemiselulosa dan sporopolenin.
Reproduksi aseksual dilakukan dengan isogami, oogami, dan konjugasi.
Reproduksi aseksual dilakukan dengan pembelahan sel dan fragmentasi thallus
(Ferdinand, 2007).
2. Phaeophyta
Phaeophyta
atau alga cokelat, umumnya terdiri atas organisme multiseluler yang hidup
dilaut dan mempunyai pigmen xantofil (pigmen warna cokelat). Phaeophyta
bersifat autotrof dan menyimpan cadangan makanannya dalam laminarian.
Reproduksi seksual Phaeophyta dilakukan dengan oogami, anisogami, seksual,
aseksual dilakukan pembelahan sel atau fragmentasi thallus (Rolledaet
al., 2004)
Struktur
tubuh alga coklat bervariasi mulai dari yang berbentuk filamen hingga yang
menyerupai tumbuhan tingkat tinggi. Banyak di antara anggota divisi Phaeophyta
merupakan jenis alga dengan ukuran thalus terbesar di dunia,
contohnya Macrocystispyrifera yang dapat tumbuh lebih dari 80 meter
di pesisir barat California. Pada umumnya alga coklat dapat hidup di laut
tumbuh di dasar perairan dan melekat pada substrat dengan
menggunakan holdfast. Di Indonesia alga coklat yang umum dijumpaiberasal
dari genera Sargassum, Turbinaria, Dictyota dan Padina (Palallo,
2013).
Rhodophyta
mempunyai pigmen berwarna merah (fikoeritrin) yang sangat banyak. Umumnya,
Rhodophyta multiseluler, namun terdapat juga Rhodophyta yang uniseluler, namun
terdapat juga Rhodophyta yang uniseluler. Alga merah multiseluler umumnya
makroskopis dan struktur tubuhnya menyerupai tumbuhan (thallus). Thallus pada
Rhodophyta berupa helaian atau seperti tumbuhan. Siklus hidup Rhodophyta
berbeda satu sama lain. Tidak seperti alga lainnya. Untuk kawin, gamet
bergantung pada arus air. Banyak anggota Rhodophyta tubuhnya dilapisi kalsium
karbonat, misalnya Coralina (Arisandi et al., 2011).
Rhodophyta
memiliki warna thallus yang beranekaragam diantaranya merah, ungu,
pirang, coklat dan hijau. Perubahan warna dari warna asli menjadi ungu dapat
terjadi apabila alga jenis ini terkena cahaya matahari secara langsung. Alga
ini mengandung pigmen fotosintetik berupa karotin, xanthofil, fikobilin dan
fikoeretrin penyebab warna merah serta khlorofil a dan d. Dalam dinding sel
terdapat sellulosa dan produk fotosintetik berupa karaginan, agar dan lembaran
(Palallo, 2013).
Tempat
hidup makroalga umumnya di air, baik air tawar, laut maupun air payau.
Makroalga dapat tumbuh hampir di semua tempat yang cukup basah dan cukup cahaya
untuk berfotosintesis. Menurut Oktaviani (2002) banyak jenis makro alga yang
beradaptasi terhadap tipe substrat yang berbeda-beda. Jenis yang menempati
subtrat berpasir umumnya memiliki habitat dengan subtrat yang keras (berbatu),
memiliki “Holdfast” yang berkembang baik, barcabang-cabang atau berbentuk
cakram (discoidal) yang disebut “hapter”, “holdfast” jenis ini mencengkram
subtrat dengan kuat dan umumnya dijumpai di daerah yang berarus kuat. Selanjutnya menurut Atmajaya (1999),
lokasi dengan habitat pasir kebanyakan ditumbuhi oleh alga hijau
terutama Halimeda dan alga coklat
seperti Padina dan Sargassum. Selain itu juga ditemukan vegetasi
lamun antara lain Enhalus acoroides, Halodule
sp. dan Thalassia sp. Pada habitat batu tidak hanya ditemukan alga
coklat Turbinaria, Hormophysa dan Sargassum, tetapi
juga ditemukan Caulerpa dan Codium dari
alga hijau. Halimeda memiliki kemampuan untuk tumbuh dengan cara
menancap dan menempel. Tempat
hidup makroalga yang paling ekstrim salah satunya adalah jaringan tubuh hewan,
khususnya hewan karang. Asmawi (1998) juga mengungkapkan bahwa pada habitat
karang mati ditemukan Gracilaria, Eucheuma, Hypnea,
Liagora, dan Gelidium, hal ini sesuai dengan kemampuan alga merah
untuk menempel kuat pada subsrtat yang keras. Cribb (1996) mengatakan bahwa pada umumnya
di sebagian daerah tropis, Valonia banyak ditemukan di antara
bongkahan karang mati.
2.3 Mikroalga
Mikroalga merupakan organisme autotrof yang tumbuh
melalui proses fotosintesis. Struktur uniseluler mikroalga memungkinkan
mengubah energi matahari menjadi energi kimia dengan mudah. Mikroalga dapat
tumbuh dimana saja, baik di ekosistem perairan laut maupun perairan tawar.
Mikroalga adalah mikroorganisme yang mudah dicerna, sehingga penggunaan
mikroalga dalam makanan atau pakan
ternak tidak ada batasan (Handayani, 2012). Mikroalga juga didefinisikan
sebagai prokariotik atau eukariotik mikroorganisme fotosintetik yang dapat
tumbuh dengan cepat dan hidup dalam kondisi yang keras karena struktur
multiseluler uniseluler atau sederhana mereka (Mata, 2009).
Keberadaan mikroalga di Indonesia cukup melimpah. Hal
tersebut dikarenakan 2/3 luas wilayah Indonesia merupakan perairan yang
merupakan habitat dari mikroalga itu sendiri. Faktor-faktor lingkungan yang
mempengaruhi keberadaan mikroalga
diantaranya pH, oksigen terlarut, fosfat, nitrat, suhu dan salinitas
perairan. Selain itu kelimpahan dan distribusi mikroalga juga dipengaruhi oleh
fenomena oseanografi seperti upwelling (Ismunarti, 2013).
Mikroalga memiliki kandungan protein yang sangat
tinggi, sehingga mikroalga juga dikenal sebagaisingle cell protein (SCP).
Sumber SCP yang dikenal masyarakat diantaranya Spirulina maxima dan Chlorella
vulgaris. Karbohidrat dalam mikroalga
dapat ditemukan dalam bentuk pati, glukosa, gula dan polisakarida lain-nya.
Kandungan lemak rata-rata sel alga bervariasi antara 1% dan 70% tetapi bisa
mencapai 90% dari berat kering pada kondisi tertentu. Lemak dalam mikroalga
terdiri dari gliserol, asam lemak jenuh atau asam lemak tak jenuh. Komposisi
lemak pada masing-masing mikroalga dipengaruhi oleh beberapa faktor, seperti
perbedaan nutrisi, lingkungan dan fasa pertumbuhan (Handayani, 2012).
2.4 BBPBAP Jepara
Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau (BBPBAP) Jepara
selama perkembangannya sejak didirikan mengalami beberapa kali perubahan status
dan hierarki. Pada awal berdirinya tahun 1971 lembaga ini diberi nama Reserich
Center Udang (RCU) yang berpusat di Bogor dan secara hierarki berada di bawah
Badan Penelitian dan Pengembangan Perikanan, Departemen Pertanian. Sasaran
utama lembaga ini adalah meneliti siklus udang dari telur hingga dewasa secara
terkendali dan dapat dibudidayakan di lingkungan tambak. Untuk operasional
penelitian dimulai pada awal tahun 1973 dengan menggunakan fasilitas yang
sebagian telah tersedia. Peresmian lembaga pusat penelitian udang ini dilakukan
oleh menteri Pertanian Republik Indonesia prof. Ir. Thoyib Hadiwijaya pada
tanggal 29 Juli 1974.[U6]
Pada tahun 1977 dilakukan reorganisasi dan lembaga penelitian
tersebut berganti namanya menjadi suatu balai dengan nama Balai Budidaya Air
Payau (BBAP), dimana secara struktural berada dibawah Direktorat Jendral
Perikanan, Departemen Pertanian. Pada periode ini, jenis komoditas yang
dikembangkan selain jenis Udang juga ikan bersirip, Echinodermata dan Moluska
air. Momentum yang menjadi pendorong bagi perkembangan industri udang secara
nasional berawal dari keberhasilan yang diraih BBAP dalam produksi benih udang
secara masal. Pada saat itu diawali dengan diterapkannya teknik pematangan
gonad dengan cara ablasi mata, sehingga salah satu kendala dalam penyediaan
induk matang telur sudah mulai dapat teratasi. Berdasarkan pada surat keputusan
Menteri Pertanian No. 06/ Kpts / org /5/1978 maka Balai Budidaya Air Payau
Jepara ditetapkan sebagai salah satu Unit Pelaksana Teknis (UPT) Direktorat
Jendral Perikanan. Pada tahun 2000 setelah terbentuknya Departemen Eksplorasi
Laut dan Perikanan, keberadaan BBAP masih dibawah Direktorat Jendral Pertanian.
Selanjutnya pada bulan Mei 2001 status BBAP ditingkatkan menjadi eselon II
dengan nama Balai Besar Pengembangan Budidaya Air Payau yang berada dibawah
Direktorat Jendral perikanan budidaya, Departemen Kelautan dan Perikanan (Dinas Perikanan
Kabupaten Jepara, 2007).
III.
MATERI
DAN METODE
3.1
Materi
3.1.1
Alat
Alat yang digunakan pada praktikum lapang di Teluk
Awur yaitu :
Tabel 1. Alat dan Kegunaan Praktikum Lapang
Tabel 1. Alat dan Kegunaan Praktikum Lapang
No.
|
Alat
|
Kegunaan
|
1.
|
Plankton
Net
|
Untuk
mengambil sampel fitoplankton
|
2.
|
Ember
|
Untuk
mengambil sampel air yang diasumsikan terdapat mikroalga, untuk menyimpan
sampel makroalga sebelum diawetkan
|
3.
|
Botol
film
|
Untuk
menampung sampel yang telah difilter menggunakan plankton net
|
4.
|
Pipet
tetes
|
Untuk
meletakan sampel dari botol film ke atas object glass
|
5.
|
Object
dan cover glass
|
Untuk
meletakkan sampel mikroalga yang akan diamati di bawah mikroskop
|
6.
|
Mikroskop
|
Untuk
mengamati sampel mikroalga
|
7.
|
Buku
identifikasi
|
Untuk
mengidentifikasi spesies mikroalga yang terdapat pada sampel
|
8.
|
Label
|
Untuk
memberi tanda pada sampel
|
10.
|
Tali
rafia 50 m
|
Untuk
dibuat sebagai transek line, sebagai penanda wilayah (stasiun) sampling
|
11.
|
Transek
kuadrat 1x1m2
|
Untuk
mengatahui keanekaragaman jenis makroalga di daerah tersebut dan membatasi
wilayah sampling
|
12.
|
Toples
|
Untuk
pengawetan makroalga basah
|
13.
|
Kardus
|
Untuk
pengawetan makroalga kering dengan cara dipress
|
14.
|
Karet
|
|
15.
|
Label
|
Untuk
memberi tanda pada sampel
|
16.
|
Pipet
tetes
|
Untuk
menetesi reagen
|
17.
|
Tabung
Erlenmeyer
|
Untuk
menghomogenkan air dengan reagen
|
18.
|
Kertas
lakmus dan pH meter universal
|
Untuk
mengukur nilai pH perairan
|
19.
|
Termometer
|
Untuk
mengukur temperatur perairan
|
20.
|
Handrefraktometer
|
Untuk
mengukur salinitas perairan
|
3.1.2
Bahan
Bahan yang digunakan pada praktikum lapang di Teluk Awur yaitu :
Tabel 2. Bahan dan Kegunaan Praktikum Lapang
Tabel 2. Bahan dan Kegunaan Praktikum Lapang
No.
|
Bahan
|
Kegunaan
|
1.
|
Sampel
mikroalga
|
Sebagai
objek yang akan diamati
|
2.
|
Untuk
mengawetkan sampel
|
|
3.
|
Sampel
makroalga
|
Sebagai
objek yang dipelajari
|
4.
|
Air
tawar bersih
|
Untuk
membersihkan makroalga sebeum diawetkan
|
3.2
Cara
Kerja
3.2.3
Identifikasi
dan Teknik Pengawetan Sampel Alga
3.2.4
Isolasi dan Kultur Mikroalga
3.2.4.1 Isolasi
Mikroalga
3.2.4.2 Kultur
Mikroalga
3.2.5
Kultur Makroalga
4.1. Pengamatan Lapang
Divisi:
ocrophyta
Kelas:
bacillariophyceae
Ordo: bacillariales
Famili:
bacillariaceae
Genus:
Nitzschia
Kingdom:
chromista
Divisi:
ocrophyta
Kelas:
coscirodiscophyceae
Ordo:
Chaetocerotales
Famili:
chaetocerotaceae
Genus:
chaetoceros[U13]
Dari hasil yang
didapatkan pada praktikum lapang Algologi yang bertempat di Teluk Awur, Jepara,
Jawa Tengah. Pengambilan
sampel yang menggunakan cara mengambil mikro alga [U14] dengan
bantuan planktonet, yang dilakukan dipagi[U15] hari. Setelah dilakukan pengamatan
dengan bantuan mikroskop bahwa hasil mikro alga dari sampel yang telah diambil
dari teluk Awur adalah Bidduiphia sp. Coscinodiscus, Cyclotella, Mallomonas,
Amphora, Metcshia, Rhizosolenia, Nitzschia, Chaetoceros.
Persebaran mikro alga [U16] sangat dipengaruhi oleh temperatur
sebuah perairan, dan faktor cahaya. Zooplankton pada saat pagi hari mendominasi
permukaan sebuah perairan sedangkan fitoplankton berada dibawah perairan.
Fitoplankton akan bertukar posisi dengan zooplankton ketika cahya sudah banyak
masuk kedalam sebuah perairan, hal ini disebut juga waktu peralihan. Waktu
peralihan antara zooplankton dan fotoplakton berkisar antara jam 9-10 pagi dan
3-4 sore. [U17] Pada saat pengambilan sampel yang
dilakukan diteluk Awur adalah jam 8-9 pagi hal ini dimungkinkan bahwa
zooplankton masih mendominasi sehingga sampel dari yang didapatkan sedikit
sekali jenis mikroalga. Hal tersebut karna cahaya yang menyinari masih kurang
bagi mikroalga untuk naik keatas permukaan perairan diteluk Awur. Sehingga
rata- rata yang mendominasi sampel dari hasil yang didapat adalah Bidduiphia
sp. Coscinodiscus, Cyclotella, Mallomonas, Amphora, Metcshia, Rhizosolenia,
Nitzschia, Chaetoceros.
Palallo (2013:24) menyatakan bahwa
suhu di lautan adalah salah satu faktor penting bagi kehidupan organisme,
karena suhu sangat mempengaruhi baik aktivitas metabolisme maupun perkembangan
dari organismeorganisme tersebut. Secara prinsip suhu yang tinggi dapat
menyebabkan protein mengalami denaturasi, serta dapat merusak enzim dan membran
sel yang bersifat labil terhadap suhu yang tinggi. Pada suhu yang rendah,
protein dan lemak membran dapat mengalami kerusakkan sebagai akibat
terbentuknya kristal es dalam sel. Terkait dengan itu, maka suhu sangat
mempengaruhi beberapa hal yang terkait dengan kehidupan alga seperti
kelangsungan hidup, pertumbuhan dan perkembangan, reproduksi, fotosintesis dan
respirasi (Palallo,2013).
Dalam kaitannya dengan pertumbuhan,
maka suhu optimal bagi pertumbuhan alga berbeda-beda tergantung jenis alga dan
lintang tempat dimana alga itu berada. Sebagai contohnya, jenis alga yang
berada di daerah kutub dapat tumbuh dengan baik pada suhu 0-100 C,
sedangkan jenis alga yang hidup di daerah iklim sedang yang agak dingin dapat
hidup dapat tumbuh dengan baik pada suhu 10-150 C. Jenis alga yang
hidup di daerah iklim sedang yang agak hangat dapat tumbuh dengan baik pada
suhu 10-200 C, sedangkan jenis alga yang hidup di daerah tropis
dapat tumbuh dengan baik pada suhu 15-300 C (Romimohtarto, 1999).
Dalam kaitannya dengan pembiakkan, maka suhu sangat mempengaruhi pembentukkan
gamet dan spora. Suhu yang tinggi dapat menghambat pembentukkan gametangia ordo
alga tertentu yang hidup di daerah iklim sedang yang hangat. Selain itu suhu
juga dipengaruhi oleh waktu dan periodisitas dimana panjang hari di setiap
belahan dunia berbeda berdasarkan garis lintangnya. Pada waktu siang suhu
cenderung tinggi sedangkan pada waktu alam suhu menurun.
4.1.2. Macroalgae
Makroalga [U18] adalah tumbuhan tidak berpembuluh
yang tumbuh melekat pada substrat di dasaran laut. Tumbuhan tersebut tidak
memiliki akar, batang, daun, bunga, buah dan biji sejati (Jana, 2006).
Makroalga yang dikenal juga sebagai rumput laut merupakan tumbuhan thallus (Thallophyta)
dimana organ-organ berupa akar, batang dan daunnya belum terdiferensiasi dengan
jelas (belum sejati). Sebagian besar makroalga di Indonesia bernilai ekonomis
tinggi yang dapat digunakan sebagai makanan dan secara tradisional digunakan
sebagai obat-obatan oleh masyarakat khususnya di wilayah pesisir. Menurut
Luning (1990) dalam Palallo (2013),
Indonesia memiliki tidak kurang dari 628 jenis makro alga dari 8000 jenis makro
alga yang ditemukan di seluruh dunia. Peran makroalga dalam ekologi perairan
sebagai produsen primer. Produsen primer adalah organisme yang dapat
menghasilkan suatu makanan yang berada pada tingkatan tropic terendah (Odum,
1971). Fungsi utama makroalga adalah sebagai sumber makanan yang kaya akan
protein bagi organisme laut itu sendiri ataupun manusia karena makroalga
merupakan satu-satunya tumbuhan dengan struktur asam amino lengkap (Hardayanti,
2004).
Klasifikasi Makroalga Berdasarkan
Pigmen[U19]
1. Divisi Chlorophyta
Chlorophyta merupakan
divisi terbesar dari semua divisi alga, sekitar 6500 jenis anggota divisi ini
telah berhasil diidentifikasi. Divisi Cholorophyta tersebar luas dan menempati
beragam substrat seperti tanah yang lembab, batang pohon, batuan basah, danau,
laut hingga batuan bersalju. Sebagian besar (90%) hidup di air tawar dan
umumnya merupakan penyusun komunitas plankton. Sebagian kecil hidup sebagai
makro alga di air laut. Divisi Chlorophyta hanya terdiri atas satu kelas yaitu
Chlorophyceae yang terbagi menjadi empat ordo yaitu: Ulvales,
Caulerpales,Cladophorales, dan Dasycladales (Verheij, 1993 dalam Palallo, 2013).
2. Divisi Phaeophyta
Makroalga divisi
phaeophyta memiliki bentuk thallus lembaran.bulat atau menyerupai batang.
Thallus tersebut berwarna coklat, berbentuk filamen bercabang, dan bentuk
seperti lembaran daun (Dawes, 1981). Phaeophyta memiliki pigmen fotosintetik
berupa klorofil a dan c, fukosantin,
dan diatosantin. Cadangan makanan
phaeophyta berupa laminaran dan mannitol. Dinding sel umumnya menngandung
alginic dan fucinic acid. Contoh Phaeophyta adalah Sargassum fillipendulum, Padina pavonia, Ascophyllum nodosum. Pada
umumnya makroalga divisi phaeophyta hidup di zona intertidal yang banyak
terdapat batu karang. Ascophyllum nodosum
merupakan salah satu contoh makroalga yang hidup diantara batu karang karena
bentuk thallusnya sangat rentan terhadap faktor dinamik seperti arus dan pasang
surut (Scrosati, 2008). Struktur
tubuh alga coklat bervariasi mulai dari yang berbentuk filamen hingga yang menyerupai
tumbuhan tingkat tinggi. Banyak di antara anggota divisi Phaeophyta merupakan
jenis alga dengan ukuran thalus terbesar di dunia, contohnya Macrocystis
pyrifera yang dapat tumbuh lebih dari 80 meter di pesisir barat
California. Pada umumnya alga coklat dapat hidup di laut tumbuh di dasar
perairan dan melekat pada substrat dengan menggunakan holdfast. Di
Indonesia alga coklat yang umum dijumpaiberasal dari genera Sargassum,
Turbinaria, Dictyota dan Padina (Sumich, 1992 dalam Palallo, 2013).
3. Divisi Rhodophyta
Algae merah merupakan
kelompok algae yang jenis-jenisnya memiliki berbagai bentuk dari variasi warna.
Namun demikian sebagain indikasinya dari segi warna bahwa itu alga merah,
adalah antara lain terjadinya perubahan warna dari warna aslinya menjadi ungu
pabila algae tersebut terkena panas sinar matahari secara langsung (Atmadja,
1988 dalam Palallo, 2013). Jenis alga
ini memiliki bentuk thallus silindris, pipih, dan lembaran.Percabangan mendua
arah (dikhotornous) dan membentuk
rumpun yang rimbun. Pigmen waarna yang terkandung pada divisi ini dapat berupa
klorofil a dan d, fikosianin, fikoeritrin, karoten, dan tetraxantofil.
Cadangan makanan pada dirinya berupa floridean
starch dan galactoside. Contoh
spesies Rhodophyta adalah Gracilaria
coronopifolia, Eucheuma spinosum,dan
Laurencia poitei. Divisi Rhodophyta
pada umumnya hidup pada substrat dasar lumpur dan pasir pada zona intertidal atau zona antara pasang
tertinggi dan surut terendah. Salah satu contohnya Hypnea asperi dan Gracilaria
foliifera (Indrawati et al., 2007).
Sumich
(1992) dalam Palallo (2013),
menyatakan bahwa tubuh makroalga umumnya disebut “tallus”. Talus
merupakan tubuh vegetatif alga yang belum mengenal diferensiasi akar, batang
dan daun sebagaimana yang ditemukan pada tumbuhan tingkat tinggi. Talus
makroalga umunya terdiri atas “blade” yang memiliki bentuk seperti daun,
“stipe” (bagian yang menyerupai batang) dan “holdfast” yang
merupakan bagian talus yang serupa dengan akar. Pada beberapa jenis makroalga,
“stipe” tidak dijumpai dan “blade” melekat langsung pada “holdfast”.
2.2.2. Habitat
Sebaran
makroalga dibatasi oleh daerah litoral dan sub litoral dimana masih terdapat
sinar matahari yang cukup untuk dapat melakukan proses fotosintesis. Didaerah
litoral merupakan tempat yang cocok bagi kehidupan alga karena terdiri atas
batuan (Atmaja dan Sulistijo, 1988).
Spesies: Padina sp
Thallus rumput laut dari
genus padina, yakni berbentuk seperti kipas, serta membentuk segmen-segmen
lembaran tipis (lobus) dengan garis-garis yang cenderung melingkar (radial). Sering ditemukan struktur thallusnya
berbentuk terpotong - potong. Rumput laut padina
merupakan salah satu rumput laut coklat yang mengandung kalsium karbonat pada
bagian tubuhnya, terlihat dari warna keputih-putihan yang berada pada
thallusnya. Padina
australis biasa ditemukan di pinggir pantai dan bebatuan.
Kingdom: Plantae
Phylum: Chlorophyta
Class: Ulvophyceae
Order: Bryopsidales
Family: Halimedaceae
Genus: Halimeda
Phylum: Chlorophyta
Class: Ulvophyceae
Order: Bryopsidales
Family: Halimedaceae
Genus: Halimeda
Spesies: Halimeda discoidea
Halimeda discoidea merupakan alga yang berkapur dan tegak,rimbun yang
pertumbuhannya lambat. Halimeda memiliki thallus berbentuk tegak dan memiliki
holdfast (akar) yang secara normal melindungi substrat tetapi terkadang juga
untuk melindungi kehidupannya pada karang. Thallus pada Halimeda mudah menjadi
kapur yang panjangnya mencapai 12 cm dan berbentuk segmen-segmen dengan
klasifikasi ringan hingga sedang. Warnanya hijau keputihan dan tingginya
mencapai 15 cm. Halimeda
membutuhkan kalsium yang cukup tinggi dan tingkat alkalinitas mirip dengan
terumbu karang untuk bertahan hidup. Halimeda juga menyukai intensitas
pencahayaan lebih tinggi. Habitatnya hidup di zona pasang surut bagian tengah
dengan dasar pasir berlumpur halus. Sering berasosiasi dengan kelompok Halimeda
lainnya dan juga tumbuh diantara tanaman lamun dan tersebar merata diseluruh
perairan.
Kingdom:
Plantae
Phylum: Chlorophyta
Class: Bryopsidophyceae
Order: Bryopsidales
Genus: Caulerpa
Spesies: Caulerpa
serrulata
Deskripsi : Thalli berwarna hijau dengan
panjang 2-5 cm, stolon bercabang horizontal dan cabang daun tegak dengan
panjang 2-3 cm, memiliki luas daun 0,5-1,5 cm dengan marjin
dentata,dichotomously bercabang berulang kali, dan banyak memutar serta spiral
membungkuk dengan silinder atau menekan ketangkai. Thalli melekat pada substrat
dengan rhizoidal menempel cukup erat
berwarna timbul dari sisi ventral dari stolon. Thalli diperkuat oleh
sistem internal bercabang ingrowths silinder dinding (trabekula). Umumnya pada
substrat batu pasir tertutup air dangkal (kurang dari 5 m)
Kingdom : Chromista
Phylum : Ochrophyta
Class : Phaeophyceae
Order : Fucales
Family : Sargassaceae
Genus : Sargassum
Phylum : Ochrophyta
Class : Phaeophyceae
Order : Fucales
Family : Sargassaceae
Genus : Sargassum
Spesies : Sargassum Polycistum
Deskripsi
: Ciri-ciri umum dari Sargassum
ini adalah bentuk thallus umumnya silindris atau gepeng, cabangnya rimbun
menyerupai pohon di darat, bentuk daun melebar, oval, atau seperti pedang,
mempunyai gelembung udara (bladder) yang umumnya soliter, ukuran panjang
umumnya mencapai 3-7 meter, warna thallus umumnya coklat.
a) Klasifikasi
Galaxaura rugosa
Kelas : Florideophyceae
Spesies : Galaxaura rugosa
Galaxaura rugosa berada di kedalaman mulai dari daerah pasang surut
hingga 15 m. Selalu ditemukan pada substrat berbatu. Galaxaura rugosa adalah
spesies variabel selama semua fase sejarah hidupnya. Gametophytes mungkin
kecil, dengan Pembatalan khas spesies, tetapi seringkali jauh lebih besar
dengan permukaan yang halus. Variasi ini juga terlihat dalam sporophyte, dimana
filamen assimilatory pendek dan panjang baik dapat diatur dalam whorls berbeda,
merata di seluruh talus, atau campuran keduany (Huisman,
1990).
Perairan Teluk Awur mempunyai kondisi
perairan yang berbeda, yaitu perairan tertutup dan terbuka. Perbedaan kondisi
perairan tersebut menyebabkan perbedaan faktor fisika dan kimia. Akan tetapi
faktor yang lebih menonjol pada perairan ini adalah arus dan gelombang. Akibat
dari arus dan gelombang tersebut menimbulkan perairan terbuka memiliki
turbulensi dan terjadi pengadukan substrat dasar pada perairan
tersebut yang akan mempengaruhi alga di dalamnya. Sebagaimana diungkapkan
Brafield (1978), gerakan ombak merupakan faktor lingkungan yang dominan beraksi
di perairan ini, sehingga banyak organisme mengalami kesulitan menyesuaikan
diri. Kekuatan gerakan air berpengaruh pada
pelekatan spora pada substratnya. Karakteristik spora dari algae yang tumbuh
pada daerah berombak dann berarus kuat umumnya cepat tenggelam dan memiliki
kemampuan menempel dengan cepat dan kuat. Sementara itu, algae yang tumbuh
didaerah tenang memiliki karakterisik spora yang mengandung lapisan lender, dan
memiliki ukuran serta bentuk yang lebih besar. Gerakan air tersebut juga sangat
berperan dalam mempertahankan sirkulasi zat hara yang berguna untuk
pertumbuhan.
Transek
|
Jenis Rumput Laut
|
Jumlah
|
Substrat
|
1
|
Padina sp
|
12
|
Batu Karang
|
2
|
Padina sp
|
15
|
Batu Karang
|
3
|
Padina sp
|
6
|
Batu Karang
|
4
|
Padina sp
|
27
|
Batu Karang
|
5
|
Padina sp
|
27
|
Batu Karang
|
6
|
Padina sp
|
26
|
Batu Karang
|
7
|
Padina sp
|
3
|
Batu Karang
|
8
|
Padina sp
|
8
|
Batu Karang
|
9
|
Padina sp
|
5
|
Batu Karang
|
10
|
Padina sp
|
4
|
Batu Karang
|
11
|
Padina sp
|
9
|
Batu Karang
|
12
|
Padina sp
|
4
|
Batu Karang
|
72
|
Halimeda
|
2
|
Berpasir berlumpur
|
73
|
Halimeda
|
3
|
Berpasir berlumpur
|
74
|
Halimeda
|
3
|
Berpasir berlumpur
|
81
|
Halimeda
|
5
|
Berpasir berlumpur
|
84
|
Galaxaura
|
1
|
Karang Berpasir
|
86
|
Caulerpa
|
38
|
Karang Berpasir
|
88
|
Halimeda
|
1
|
Karang Berpasir
|
90
|
Halimeda
|
5
|
Karang Berpasir
|
91
|
Halimeda
|
4
|
Karang Berpasir
|
Sargassum
|
70
|
Karang Berpasir
|
|
92
|
Halimeda
|
2
|
Karang Berpasir
|
93
|
Caulerpa
|
3
|
Karang Berpasir
|
94
|
Halimeda
|
18
|
Karang Berpasir
|
95
|
Halimeda
|
40
|
Karang Berpasir
|
96
|
Sargassum
|
20
|
Karang Berpasir
|
97
|
Sargassum
|
15
|
Karang Berpasir
|
98
|
Sargassum
|
18
|
Karang Berpasir
|
99
|
Sargassum
|
21
|
Karang Berpasir
|
100
|
Sargassum
|
30
|
Karang Berpasir
|
Dari
hasil peraktikum ditemukan beberapa makroalga antar lain Padina sp, Halimeda
sp, Galaxaura sp, Caulerpa sp, dan Sargassum. Berdasarkan lokasi penemuan ada
kecenderungan masing – masing spesies ditemukan. Pada bagian pantai atau yang
lebih mendekat kedaratan banyak ditemukan Padina sp dan terlihaat hanya
ditemukan dari 1-12 meter tegak lurus garis pantai, jika dilihat dari
substratnya Padina cenderung menempel pada pasing berkarang. Kemudian lebih
jauh lagi antara 13-71 meter tidah ditemukan makroalga. Namun pada jarak 72-95
lebih beragam ditemukan makroalga antara lain Halimeda, Caulerpa, Galaxaura dan
Sargassum, pada lokasi ini lebih didominasi Halimeda. Hal ini sesuai dengan
habitat Halimeda yang tinggal di
substrat pasir berlumpur, cengkraman holdfast juga lebih kuat sehingga lebih
aman terkena ombak. Caulerpa
juga ditemukan pada daerah-daerah yang arusnnya luayab kenceng
Tabel 2.
karakteristih antisipasi
Kuadran transek
|
Indeks Keragaman
(H')
|
Indeks
Dominansi (ʎ)
|
Indeks
kekayaan Jenis (D)
|
Indeks
Kemerataan Jenis (E)
|
1
|
0
|
1
|
0
|
0
|
2
|
0
|
1
|
0
|
0
|
3
|
0
|
1
|
0
|
0
|
4
|
0
|
1
|
0
|
0
|
5
|
0
|
1
|
0
|
0
|
6
|
0
|
1
|
0
|
0
|
7
|
0
|
1
|
0
|
0
|
8
|
0
|
1
|
0
|
0
|
9
|
0
|
1
|
0
|
0
|
10
|
0
|
1
|
0
|
0
|
11
|
0
|
1
|
0
|
0
|
12
|
0
|
1
|
0
|
0
|
72
|
0
|
1
|
0
|
0
|
73
|
0
|
1
|
0
|
0
|
74
|
0
|
1
|
0
|
0
|
81
|
0
|
1
|
0
|
0
|
84
|
0
|
1
|
0
|
0
|
86
|
0
|
1
|
0
|
0
|
88
|
0
|
1
|
0
|
0
|
90
|
0
|
1
|
0
|
0
|
91
|
0.2102834
|
0.8963347
|
0.2323385
|
0.3033748
|
92
|
0.6365142
|
0.3333333
|
0.9102392
|
0.9182958
|
93
|
0
|
1
|
0
|
0
|
94
|
0
|
1
|
0
|
0
|
95
|
0
|
1
|
0
|
0
|
96
|
0
|
1
|
0
|
0
|
97
|
0
|
1
|
0
|
0
|
98
|
0
|
1
|
0
|
0
|
99
|
0
|
1
|
0
|
0
|
100
|
0
|
1
|
0
|
0
|
Hasil analisis keanekaragaman rumput laut
yang mendominasi lokasi praktikum terlihat bahwa indeks keanekaragaman
menunjukan keanekaragaman yang rendah, karena masih dibawah 1 (Arfa, 2008).
Angka menunjukan rentang antara 0-0.918. hampir setiap kuadran kosong dan hanya
terdapat 1 spesies. Indeks dominasi juga menunjukan nilai 0. Keanekaragama
makrolaga sangat rendah karena kesamaan jenis substrat di Teluk Awur sehingga
sedikir alga yang mau tumbuh (Arfa, 2013). Kesamaan jenis substrat yakni
dominan pasir berlumpur dan berkarang, sehingga ini akan menjadi faktor
pembatas bagi makroalga yang tidak cocok terhadap substrat tersebut.
4.2. KULTUR
4.2.1. Kultur Makroalga
Kultur rumput laut merupakan upaya meningkatkan
produksi dari dengan cara memperhatikan faktor-faktor yang mendukung rumput
laut tumbuh secara optimal. Budidaya rumput laut C.
racemose dipengaruhi oleh beberapa parameter seperti parameter fisika dan
kimia. Parameter fisika yang berpengaruh, meliputi: suhu, intensitas cahaya,
arus, gelombang, pasang surut dan Muatan Padatan Tersuspensi (MPT) serta
parameter kimia, seperti pH perairan, salinitas dan oksigen terlarut. Selain
itu pemilihan metode yang tepat dapat berpengaruh terhadap pertumbuhan C.
racemosa, karena berperan dalam penentuan intensitas cahaya yang akan
diterima oleh rumput laut untuk proses fotosintesis (Suyarno dkk, 2015).
Salah satu faktor yang berpengaruh
terhadap pertumbuhan rumput laut yaitu nutrien. Rumput laut dapat memenuhi
kebutuhan nutrient sendiri ketika di alam bebas, namun untuk budidaya dengan
perairan yang dibatasi perlu adanya penambahan nutrien melalui pupuk. Istilah
pupuk umumnya berhubungan dengan pupppuk buatan yang tidak hanya berisi unsur
hara tenaman dalam bentuk unsur nitrogen, tetapi juga dapat berbentuk campuran
yang memberikan bentuk-bentuk ion dari unsur hara yang dapat diabsorpsi oleh
tanaman. Untuk memenuhi kebutuhan tanaman secara normal diperukan minimal 3
unsur mutlak, yaitu nitrogen, fosfor dan kalium atau NPK (Higgins, 2004 dalam Amini dan Syamdidi, 2006).
Pada kultur makroalga digunakan pupuk NPK
untuk memperkaya nutrient. Npk merupak pupuk majemuk, yaitu pupuk yang
mengandung lebih dari satu unsur. Pupuk NPK memiliki arti ganda, karena berisi
zat-zat pokok seperti nitrogen, fosfor dan kalium dalam jumlah tertentu seperti
TSP. TSP (Triple Super Fosfat) merupakan pupuk anorganik yang kaya akan
kandungan fosfat (Amini dan Syamdidi, 2006).
Grafik
pertumbuhan makroalgae
Tabel
3. Pertumbuhan makroalgae
Nama
|
Minggu ke 0
|
Minggu ke 1
|
Minggu ke 2
|
Minggu ke 3
|
Coulerpa sp.
|
5.3
|
4.78
|
3.14
|
2.99
|
Sargasum sp.
|
4.27
|
2.76
|
3.3
|
0.25
|
Dari grafik diatas dapat
diketahui bahwa pertumbuhan Coulerpa sp dan Sargassum sp menurun pada setiap
minggunya hal ini bisa dikarenakan kurang beradaptasinya Coulerpa sp dan
Sargassum sp terhadap perubahan parameter kualitas air pada habitat awalnya.
Parameter tersebut diantaranya
pH
Kondisi asam atau basa
pada perairan ditentukan berdasarkan nilai pH dengan nama lain Power of
Hydrogen (Nordstrom,2000). Menurut baku mutu perairan untuk biota laut (2004)
berkisar antara 7 - 8.5 yang mana pH 7 merupakan pH normal. Menurut Biebl
(1962) dalam Effendi (2009) kisaran pH yang layak untuk pertumbuhan alga adalah
6.3-10 ppt.
Salinitas
Salinitas adalah
banyaknya zat terlarut. Zat padat terlarut meliputi garam-garam anorganik,
senyawa-senyawa organik yang berasal dari organisme hidup, dan gas-gas terlarut
(Nybakken,1992). Ciri paling khas pada air laut yang diketahui oleh semua orang
ialah rasanya yang asin. Ini disebabkan karena didalam air laut terlarut
garam-garam yang paling utama adalah natrum klorida (NaCl) yang sering disebut
garam dapur. Selain NaCl, di dalam air laut terdapat pula MgCl2, kalium, kalsium
dan sebagainya. Salinitas adalah jumlah berat semua garam (dalam gram) yang
terlarut dalam satu liter air, biasanya dinyatakan dengan satuan ppt (part per
thousand), salinitas optimum menurut baku mutu perairan untuk biota laut (2004)
sekitar 33-34 ppt. Toleransi salinitas untuk biota laut sampai 30 ppt. Salinitas optimum untuk pertumbuhan alga
berkisar antara 28-34 ppt (Nontji,1986). Namun ada jenis biota laut yang dapat
hidup pada kisaran salinitas yang besar, contohnya Fucus sp. Yang dapat hidup
pada kisaran salinitas 8-34 ppt (Luning, 1990 ; Effendi 2009).
Di perairan pantai karena
terjadi pengenceran misalnya karena pengaruh aliran sungai salinitas bisa turun
rendah. Sebaliknya di daerah dengan penguapan yang sangat kuat, salinitas bisa
meningkat tinggi. Air payau adalah istilah umum yang digunakan untuk menyatakan
air yang salinitasnya antara air tawar dan air laut. Perairan estuari atau
daerah sekitar kuala dapat mempengaruhi struktur salinitas yang kompleks,
karena selain merupakan pertemuan antara air tawar yang relatif ringan dan air
laut yang lebih berat juga pengadukan air sangat menentukan (Nontji,1986).
Suhu
Temperatur secara fisika
dinyatakan dalam satuan 0C. Temperature
optimum perairan laut untuk biota laut sekitar 28-30 0C (Nyabkken, 1992). Menurut Luning (1990 ; Effendi 2009), temperatur optimal untuk pertumbuhan algae di
daerah tropis adalah 15 ºC–30 ºC. Dawson
(1966) menyatakan bahwa pertumbuhan yang baik untuk alga di daerah
tropis adalah 20 ºC – 30 ºC.Sedangkan Koesbiono (1974) ; Effendi (2009),
menyatakan bahwa temperatur merupakan salah satu faktor pembatas yang penting
dalam lingkungan bahari.
Perubahan temperatur air
laut disebabkan oleh perpindahan panas dari massa yang satu ke massa yang
lainnya. Kenaikan temperatur permukaan laut disebabkan oleh radiasi dari
angkasa dan matahari, konduksi panas dari atmosfir, dan kondensasi uap air.
Sedangkan penurunan temperatur permukaan laut disebabkan oleh radiasi balik
permukaan laut ke atmosfir, konduksi balik panas ke atmosfir dan evaporasi
(penguapan). Matahari mempunyai efek yang paling besar terhadap perubahan suhu
permukaan laut (Djunarsjah,2005).
Kedalaman
Kedalaman merupakan
faktor yang mempengaruhi distribusi biota akuatik khususnya fitoplankton, hal
ini berkaitan dengan intensitas cahaya yang masuk ke dalam kolam air. Kedalam
dalam suatu perairan laut
berbeda-beda, kedalaman didaerah tepi biasanya dangkal dan semakin ketengah
semakin dalam. Adanya perbedaan kedalaman ini juga menyebabkan perbedaan
kecerahan suatu perairan, karena kecerahan mempengaruhi penerimaan intensitas
cahaya matahari yang masuk ke dalam perairan. Kedalaman permukaan antara 0-30 meter,
paparan benua memiliki kedalaman 200 meter, abyssal memiliki kedalaman 500
meter dan palung memiliki kedalaman 10.000 meter (Goldman,1983).
Menurut
Wibisono, (2005) menyatakan bahwa kedalaman suatu perairan didasari pada relief
dasar dari perairan tersebut. Perairan yang
dangkal kecepatan arus relatif cukup besar
dibandingkan dengan kecepatan arus pada daerah yang lebih dalam (Odum,1979).
Semakin dangkal perairan semakin dipengaruhi oleh pasang
surut, yang mana daerah yang dipengaruhi oleh pasang surut mempunyai tingkat
kekeruhan yang tinggi.
DO (Dissolved Oxygen)
Dissolved oxygen atau
oksigen terlarut sangat menentukan kehidupan biota perairan. Oksigen merupakan
akseptor elektron dalam reaksi respirasi, sehingga banyak dibutuhkan oleh biota
aerobik. Oksigen juga memengaruhi kelarutan dan ketersediaan berbagai jenis
nutrien dalam air. Kondisi oksigen terlarut yang rendah memungkinkan adanya
aktivitas bakteri anaerobik pada badan air. Oksigen terlarut dipengaruhi oleh
beberapa hal, antara lain penutupan vegetasi, BOD (Biological Oxygen Demand), perkembangan fitoplankton, ukuran badan
air, dan adanya arusangin. Pengukuran oksigen terlarut bisa dilakukan dengan
metode sensor oskigenelektronik dan titrasi Winkler. Hasil pengukuran berada
pada satuan persen (%) dan mg/L. Kandungan oksigen terlarut yang optimal bagi
kehidupan biota laut adalah 4-8 ppm.
Pengukuran dilakukan pada
variasi siang dan malam serta pada musim yang berbeda. Penentuan siang malam
menentukan disebabkan karena adanya aktivitasrespirasi dan fotosintesis pada
siang hari, sedangkan musim untuk mengetahuipengaruh perbedaan aktivitas
makhluk hidup tergantung musim pada kadar oksigen terlarut. Menurut Nyabakken
(1992) kadar oksigen perairan laut yang
menunjang untuk kehidupan biota laut adalah 5 ppm.
4.2.2. Kultur Mikroalga
Gambar
1. Grafik pertumbuhan Spirullina sp
Pada
hari ke 1 pertumbuhan mikroalga mengalami peningkatan yang signifikan baik pada
ulangan ke 1, 2, maupun ke 3. Selanjutnya pada hari ke 2 terjadi penurunan
jumlah mikroalga, namun terjadi peningkatan yang signifikan pada hari ke 3
dimana jumlah Spirulina sp. mencapai
kondisi pertumbuhan yang optimal dengan jumlah tiap 1 tetes mencapai 10914,2
pada ulangan pertama, 10454,4 pada ulangan kedua dan 12511,4 pada ulangan
ketiga. Dan pada hari ke 4 sampai 5 terjadi penurunan jumlah Spirulina sp. Dalam penelitian yang
dilakukan oleh Sari (2012) didapat bahwa hasil kultivasi Spirulina platensis juga mengalami peningkatan yang signifikan pada
hari ke 3, namun pada hari ke 4 dan kelima meningkat secara teratur. Perbedaan
tersebut disebabkan oleh berbagai faktor, salah satunya aerasi yang kurang
stabil sehingga dalam nutrisi dan kandungan oksigen yang tersebar tidak merata
karena proses pengadukan oleh aerasi.
Gambar
2. Grafik pertumbuhan Chlorella sp
Pertumbuhan mikroalga Chlorella sp. pada hari ke-1 mengalami
peningkatan jumlah pada ulangan ke 1 maupun ke 2 sedangkan pada ulangan ke 3
pertumbuhan mengalami penurunan yang teratur. Pada hari ke 4 terjadi fase
eksponensial dengan jumlah pertumbuhan yang cukup signifikan. Pertumbuhan paling
tinggi didapat pada hari ke 5 dengan jumlah per tetes 21812500 pada ulangan ke
1, 26062500 pada ulangan ke 2, 26000000 pada ulangan ke 3. Penelitian yang
dilakukan oleh Widiyanto dkk. (2014) membuktikan bahwa pertumbuhan Chlorella sp pada media toples meningkat
pada hari ke 4 dan ke 5. Namun terjadi penurunan jumlah ketika media yang
digunakan adalah media air payau. Pengaruh media sangat besar terhadap
pertumbuhan mikroalga karena dalam media terdapat faktor pembatas seperti suhu,
pH, kadar Oksigen terlarut, intensitas cahaya yang didapat, dan nutrisi bagi
pertumbuhan Chlorella sp.
·
FAKTOR KULTIVASI MIKROALGA
Kultivasi
mikroalga dipengaruhi oleh beberapa faktor umum seperti faktor eksternal
(lingkungan) yang biasa dikenal. Faktor-faktor lingkungan tersebut berpengaruh
terhadap laju pertumbuhan dan metabolisme dari makhluk hidup mikro ini.
Faktor-faktor tersebut antara lain:
1. Derajat Keasaman (pH)
Derajat keasaman
atau pH digambarkan sebagai keberadaan ion hidrogen. Variasi pH dalam media
kultur dapat mempengaruhi metabolisme dan pertumbuhan kultur mikroalga antara
lain mengubah keseimbangan karbon anorganik, mengubah ketersediaan nutrien dan
mempengaruhi fisiologi sel. Kisaran pH untuk kultur alga biasanya antara 7-9,
kisaran optimum untuk alga laut berkisar antara 7,8-8,5. Secara umum kisaran pH
yang optimum untuk kultur mikroalga adalah antara 7–9. Semakin tinggi kerapatan
sel pada medium kultur menyebabkan kondisi medium kultur meningkat tingkat
kebasaannya (pH semakin tinggi) dan hal itu menyebabkan peningkatan CO2
terlarut dalam medium kultur (Wijanarko dkk, 2007).
2. Salinitas
Kisaran salinitas
yang berubah-ubah dapat mempengaruhi pertumbuhan mikroalga. Beberapa mikroalga
dapat tumbuh dalam kisaran salinitas yang tinggi tetapi ada juga yang dapat
tumbuh dalam kisaran salinitas yang rendah. Namun, hampir semua jenis mikroalga
dapat tumbuh optimal pada salinitas sedikit dibawah habitat asal. Pengaturan
salinitas pada media yang diperkaya dapat dilakukan dengan pengenceran dengan
menggunakan air tawar. Kisaran salinitas yang paling optimum untuk pertumbuhan
mikroalga adalah 25-35‰ (Sylvester etal., 2002).
3. Suhu
Suhu merupakan salah satu faktor
penting yang mempengaruhi pertumbuhan mikroalga. Perubahan suhu berpengaruh
terhadap proses kimia, biologi dan fisika, peningkatan suhu dapat menurunkan
suatu kelarutan bahan dan dapat menyebabkan peningkatan kecepatan metabolisme
dan respirasi mikroalga di perairan. Secara umum suhu optimal dalam kultur
mikroalga berkisar antara 20-24 0C. Suhu dalam kultur diatur sedemikian rupa
bergantung pada media yang digunakan. Suhu di bawah 16 oC dapat menyebabkan
kecepatan pertumbuhan turun, sedangkan suhu diatas 36 oC dapat menyebabkan
kematian (Taw, 1990).
4. Cahaya
Cahaya merupakan
sumber energi dalam proses fotosintesis yang berguna untuk pembentukan senyawa
karbon organik. Intensitas cahaya sangat menentukan pertumbuhan mikroalga yaitu
dilihat dari lama penyinaran dan panjang gelombang yang digunakan untuk
fotosintesis. Cahaya berperan penting dalam pertumbuhan mikroalga, tetapi
kebutuhannya bervariasi yang disesuaikan dengan kedalaman kultur dan
kepadatannya. Pada kondisi gelap, mikroalga tidak melakukan proses sintesa
biomassa melainkan mempertahankan hidupnya dengan cara melakukan respirasi sel
sehingga medium kultur menjadi jenuh oleh senyawa karbonat yang tidak
dimanfaatkan mikroalga. Hal ini menyebabkan pengurangan proses transfer gas CO2
ke dalam medium kultur (Wijanarko dkk, 2007). Namun pada akhirnya antara
kondisi terang maupun gelap menghasilkan produksi biomassa yang konstan karena
CTR (Carbon Transfer Rate) pada umumnya memiliki nilai yang tinggi pada awal
masa pertumbuhan dimana konsentrasi das CO2 di dalam medium kultur masih di
bawah ambang kejenuhan, sehingga gas CO2 lebih mudah larut dalam medium kultur.
Selain itu, kenaikan jumlah sel yang sangat besar mempertinggi penyerapan gas
yang terlarut dalam bentuk HCO3- oleh mikroalga. CTR kemudian akan cenderung
menurun seiring dengan waktu karena terjadinya ketidaksetimbangan antara
peningkatan jumlah sel dengan besarnya biofiksasi CO2 yang mengakibatkan
produksi biomassa menjadi konstan kemudian menurun.
5. Karbondioksida
Karbondioksida
diperlukan oleh mikroalga untuk memenbantu proses fotosintesis. Karbondioksida
dengan kadar 1-2% biasanya sudah cukup digunakan dalam kultur mikroalga dengan
intensitas cahaya yang rendah. Kadar karbondioksida yang berlebih dapat
menyebabkan pH kurang dari batas optimum sehingga akan berpengaruh terhadap
pertumbuhan mikroalga (Taw, 1990). Menurut Wilde dan Benemann (1993), semakin
tinggi laju alir gas CO2 maka semakin tinggi laju pertumbuhan mikroalga dan
produktivitas biomassanya. Mikroalga dapat menyerap CO2 pada kisaran pH dan
konsentrasi gas CO2 yang berbeda. Efisiensi dari penyerapan CO2 oleh mikroalga
tergantung dari pH kultivasi dan dipengaruhi oleh perbedaan konsentrasi gas
CO2. Semakin tinggi konsentrasi gas CO2 maka semakin besar pula pembentukan
biomassa yang terjadi. Gas CO2 diserap oleh mikroalga dan digunakan untuk
proses biofiksasi menghasilkan. Menurut Benemann (1997), penggunaan
karbondioksida pada kultivasi mikroalga
memiliki beberapa keuntungan, seperti mikroalga tumbuh di air, lebih mudah diamati pertumbuhannya daripada
tumbuhan tingkat tinggi, mikroalga dapat tumbuh sangat cepat dan mikroalga
tidak membutuhkan tempat atau lahan yang
sangat luas untuk tumbuh. Untuk organisme seperti mikroalga, karbondioksida
merupakan faktor yang penting yang mempengaruhi pertumbuhan dan metabolism mikroalga.
6. Nutrien
Mikroalga
memperoleh nutrien dari air laut yang sudah mengandung nutrien yang cukup
lengkap. Namun pertumbuhan mikroalga dalam kultur dapat mencapai optimum dengan
mencampurkan air laut dengan nutrien yang tidak terkandung dalam air laut
tersebut. Nutrien tersebut dibagi menjadi makro nutrien dan mikro nutrien.
Unsur makro nutrien terdiri atas N (meliputi nitrat), P (Posfat), K (Kalium), C
(Karbon), Si (silikat), S (Sulfat) dan Ca (Kalsium). Unsur mikro nutrien
terdiri atas Fe (Besi), Zn (Seng), Cu (Tembaga), Mg (Magnesium), Mo
(Molybdate), Co (Kobalt), B (Boron), dan lainnya (Sylvester et al., 2002).
Nutrisi yang
mempengaruhi pertumbuhan mikroalga terdiri dari makro dan mikro nutrient. Untuk
makro nutrient terdiri dari C, H, N, P, K, S, Mg dan Ca, sedangkan untuk mikro
nutrient antara lain Fe, Cu, Mn, Zn, Co, Mo, Bo, Vn dan Si.
7. Aerasi
Aerasi dalam
kultivasi mikroalga digunakan dalam proses pengadukan media kultur. Pengadukan
sangat penting dilakukan bertujuan untuk mencegah terjadinya pengendapan sel, nutrien
tersebar dengan baik sehingga mikroalga dalam kultur mendapatkan nutrien yang
sama, mencegah sratifikasi suhu, dan meningkatkan pertukaran gas dari udara ke
media (Taw, 1990).
1.
Spirulina sp.
Gambar 1. Spirulina
sp. Gambar
2. Spirulina sp.
Hasil Laboratorium Hasil Internet
Klasifikasi:
Kingdom Eubacteria
Phylum Cyanobacteria
Class Cyanophyceae
Order Spirulinales
Family Spirulinaceae
Genus Spirulina
Kingdom Eubacteria
Phylum Cyanobacteria
Class Cyanophyceae
Order Spirulinales
Family Spirulinaceae
Genus Spirulina
(algabase.org)
Spirulina adalah cyanobacteria berbentuk
spiral. Karena dari sifat-sifatnya,seperti nilai gizi yang tinggi dan
kehadiran biocompounds berharga, seperti phycocyanin
(Moraes et al., 2011), saat ini salah satu dari mikroalga yang paling banyak dipelajari. Hal ini biasanya diproduksi secara
komersial di bioreaktorterbuka hingga 0,5 hektare (Belay, 1997), dengan
menggunakan sinar mataharisebagai sumber cahaya. Produksi biogas dari
pencernaan anaerobic Spirulina biomassa difasilitasi
oleh tinggi konsentrasi bahan organik (Costa et al., 2008).Pencernaan anaerobik
biomassa menghasilkan limbah, yang mengandung nutrisi penting seperti karbon, nitrogen dan fosfor, dan ini
dapat dipulihkan untuk produksi biomassa
mikroalga (Converti et al., 2009).
Nutrisi utama yang diperlukan untuk Spirulina budidaya adalah karbon,
karena sel-sel mengandung sekitar 50% (w/w) dari
elemen ini. Dengan demikian, sumber karbon adalah komponen yang
paling mahal dari Spirulina produksi. Untuk pertumbuhan autotrofik (yang lebih cocok untuk skala besar
budidaya terbuka) karbon dapat diberikan sebagai CO2,
karbonat atau bikarbonat (Borges, 2013). Nitrat (NO3-) merupakan senyawa
nitrogen utama yang diserap olehberbagai mikroalga termasuk Spirulina sp. untuk
pertumbuhannya. Nitrat akan direduksi oleh nitrit
reduktase menjadi nitrit (NO2-) yang kemudian direduksi menjadi amonium (NH4+) sehingga dapat memasuki jalur
sintesis berbagaisenyawa amino, yaitu asam glutamat, asam aspartat dan
asparagin (Suantika dan Hendrawandy, 2009).
2.
Chlorella sp.
Gambar 3. Chlorella sp. Gambar 4. Chlorella sp.
Hasil Laboratorium Hasil Internet
Classification:
Kingdom Plantae
Phylum Chlorophyta
Class Trebouxiophyceae
Order Chlorellales
Family Chlorellaceae
Genus Chlorella
Spesies Chlorella sp.
Kingdom Plantae
Phylum Chlorophyta
Class Trebouxiophyceae
Order Chlorellales
Family Chlorellaceae
Genus Chlorella
Spesies Chlorella sp.
(Algabase.org)
Bentuk sel
bulat atau bulat telur, merupakan alga bersel tunggal, tetapi kadang-kadang
dijumpai bergerombol. Diameter selnya berkisar 2-8 mikron, berwarna hijau
karena klorofil merupakan pigmen yang dominan, dinding selnya keras terdiri
atas selulosa dan pectin. Sel ini mempunyai protoplasma yang berbentuk cawan.
Chlorella bersifat kosmopolit yang dapat tumbuh dimana-mana,
kecuali pada tempat yang sangat kritis bagi kehidupan. Alga ini dapat tumbuh
pada salinitas 0-35 ppt. salinitas 10-20 ppt merupakan salinitas optimum untuk
pertumbuhan alga ini. Alga ini masih dapat bertahan hidup pada suhu 400C,
tetapi tidak tumbuh. Kisaran suhu 25-300C merupakan kisaran suhu
yang optimal.
Alga ini
berproduksi secara aseksual dengan pembelahan sel, tetapi juga dapat dengan
pemisahan utospora dari sel induknya. Reproduksi sel ini diawali dengan
pertumbuhan sel yang membesar. Periode selanjutnya adalah terjadinya
peningkatan aktivitas sintesa sebagai bagian dari persiapan pembentukan sel
anak, yang merupakan tingkat pemasakan awal. Tahap selanjutnya terbentuk sel
induk muda yang merupakan tingkat pemasakan akhir, yang akan disusul dengan
pelepasan sel anak.
Teknik Kultur Mikroalga
1.
Spirulina
sp.
Teknik kultur harus didasari pengetahuan
biologi organisme yang akan dibudidayakan. Sel milcoalga Spirulina platensis
membentuk filamen terpiliru menyerupai spiral (helig), warna hijau biru.
Filamen terdiri dari beberapa sel dalam satu rangkaian. Sel berbentuk silindris
dengan dinding sel tipis. Garis tengah sel 1- 12 p. Bergerak dengan cara
menggelinding, Hidup di tereshial, air tawar, air payau dan air laut. Cenderung
bersifat alkali. pH optimum 7,2-9,5 (tahan pada pH 11). Tahan pada kadar garam tinggi hingga 85 %o, kisaran temperature optimum 25-35⁰C. Reproduksi dengan cara membelah did.
Prinsip kultur diawali dari kultur mumi (monospesifik spesies) dimulai dari
isolasi, kemudian pengembangan secara bertingkat. Media kultur dari beberapa
milimeter, berangsur-angsur meningkat ke volume lebih besar hingga ke skala
massal. Kultur skala semi massal (semi out-door) dimulai dali 20 I hingga 100 I
dalam wadah besar, pada umumnya menggunakan akuarium atau bak-bak papan/
plasttlq yang diletakkan di luar laboratorium. Inokulum yang dimasukkan sekitar
l/10 bagian dari total volume budidaya. Media pertumbuhan rmtuk kulttr
mikroalga pada skala semi massal dapat menggunakan media seperti kultur skala
laboratorium atau menggunakan pupuk dengan komposisi sebagai berikut: Urea 80
ppm, TSP 30 < ppm, ZA 20 ppm, FeCl3 2 ppm, EDTA 5 ppm dan Vitamin Bl2 0,001
ppm. Selain itu dapat menggunakan pupuk organik.
2. Chlorella sp.
Pada skala laboratorium
,peningkatan volume kultur bertahap dari mulai tabung reaksi bervolume 10 ml,
erlenmeyer 100 ml,1000 ml sampai 5000 ml.Setelah mencapai volume 5 liter,
kultur mikroalga telah siap untuk digunakan sebai inokulan bagi tahap
intermediet.
Tahap intermediet umumnya
dilakukan di luar laboratorium dengan menggunakan wadah akuarium,galon atau
plastik. Dalam tahap ini juga dilakukan peningkatan volume kultur secara
bertahap dari mulai 20 liter hingga 500 liter. Kultur dengan volume lebih dari
50 liter umumnya dilakukan di dalam bak fiber yang berwarna bening atau plastik
yang berukuran besar dan tebal.
Setelah melalui tahap
intermediet, volume kultur ditingkatkan lagi melalui kulter massal. Pada skala
ini, kultur dilakukan di dalam (indoor) atau diluar ruangan (outdoor) dengan
menggunakan wadah bak beton atau bak fiber. Tahapan-tahapan dalam budidaya
mikroalga pada skala intermediet dan massal umumnya hampir sama dengan budidaya
mikroalga pada skala laboratorium kultur murni. Yang membedakan adalah metode
sterilisasi dan sumber nutrien yang digunakan.Karena pada skala intermediet dan
skala masal, budidaya mikroalga dilakukan dalam jumlah besar maka metode
sterilisasi pada skala laboratorium seperti Autoclave dan oven tidak mungkin
dilakukan. Pada skala ini metode sterilisasi yang digunakan umumnya adalah
metode sterilisasi kimiawi dengan menggunakan larutan klorin atau ozon. Metode
yang lain juga umum digunakan adalah dengan radiasi sinar Ultra Violet.
Chlorella bersifat
kosmopolit yaitu dapat tumbuh dimana-mana, kecuali pada tempat yang sangat
kritis bagi kehidupan. Alga ini dapat tumbuh pada salinitas 0-35 ppt. salinitas
10-20 ppt merupakan salinitas optimum untuk pertumbuhan alga ini. Alga ini
masih dapat bertahan hidup pada suhu 400C, tetapi tidak tumbuh. Kisaran suhu
25-300C merupakan kisaran suhu yang optimal. (Hirata,
1981). Kehidupan Chlorella sangat
dipengaruhi oleh beberapa faktor lingkungan dimana Chlorella tersebut berada. Faktor yang mempengaruhi kehidupan
tersebut adalah unsur hara, cahaya matahari, suhu, pH, CO2, dan air. Unsur hara
yang dibutuhkan oleh Chlorella berupa
unsur hara makro dan unsur hara mikro. Unsur hara makro terdiri dari N, P, K,S,
Na, Si, dan Ca, sedangkan unsur hara mikro terdiri dari Fe, Zn, Mn, Cu, Mg, Mo,
Co, B dan lain-lain. Setiap unsur hara mempunyai fungsi khusus bagi Chlorella tanpa mengabaikan
pengaruh faktor lain. Unsur N, P, dan S sangat penting dalam
pembentukan dinding sel Chlorella. (Wirosaputro,
2002).
Cahaya matahari berperan
penting untuk proses fotosintesis yang dibutuhkan oleh Chlorella. Chlorella banyak menyerap cahaya biru dan
merah, keduanya bila bergabung menjadi sinar ultraviolet yang memiliki daya
penyembuh dan daya pembersih. Suhu berperan di dalam memacu proses metabolisme
dan untuk Indonesia suhu yang optimum berkisar 25-300 C bagi Chlorella. Peranan pH dalam
budidaya sangat penting bila dikaitkan dengan kontaminan. kontaminan itu sangat
merugikan maka pH dapat diatur guna mengatasinya, yaitu dengan mengatur pH menjadi asam tetapi Chlorella tidak terpengaruh olehnya, pH diusahakan menjadi 4,5-5,6. Ketika
pH asam maka kontaminan tidak tahan hidup tetapi Chlorella tidak terpengaruh kehidupannya, sehingga pencegahan kontaminan dapat dikendalikan.
(Wirosaputro, 2002).
Dalam pengkulturan Chlorella perlu di
perhatikan sebagai pakan alami ikan adalah: memiliki bentuk dan
ukuran yang sesuai dengan mulut ikan, mempunyai nilai gizi yang penting, isi
sel padat dan dinding sel tipis, sehingga mudah diserap oleh tubuh ikan, cepat
berkembangbiak dan memiliki toleransi yang cukup tinggi terhadap perubahan
lingkungan, tidak mengeluarkan zat toksik, tidak bergerak aktif sehingga mudah
ditangkap. (Wirosaputro, 2002).
Alga
ini berproduksi secara aseksual dengan pembelahan sel, tetapi juga dapat dengan
pemisahan autospora dari sel induknya. Pertumbuhan mikroalga secara umum dapat
dibagi menjadi lima fase yang meliputi fase lag (adaptasi atau istirahat), fase
eksponensial, fase penurunan kecepatan pertumbuhan (deklinasi), fase stasioner
dan fase kematian. Pada fase lag penambahan jumlah densitas mikroalga sangat
rendah atau bahkan dapat dikatakan belum ada penambahan densitas. Hal tersebut
disebabkan karena sel-sel mikroalga masih dalam proses adaptasi secara fisiologis
terhadap media tumbuh sehingga metabolisme untuk tumbuh manjadi lamban. Pada
fase eksponensial terjadi penambahan kepadatan sel mikroalga (N) dalam waktu
(t) dengan kecepatan tumbuh (μ) sesuai dengan rumus eksponensial. Pada fase
penurunan kecepatan tumbuh pembelahan sel mulai melambat karena kondisi fisik
dan kimia kultur mulai membatasi pertumbuhan. Pada fase stasioner, faktor
pembatas dan kecepatan pertumbuhan bersifat setimbang karena jumlah sel yang
membelah dan yang mati sama. Pada fase kematian, kualitas fisik dan kimia
kultur berada pada titik dimana sel tidak mampu lagi mengalami pembelahan (Fogg
dan Thake, 1987 dalam Edhy et al., 2003).
Amini,
Sri., dan Syamdidi. 2006. Konsentrasi Unsur Hara Media dan Pertumbuhan Chlorella vulgaris dengan Pupuk
Anorganik Teknis dan Analis, Jurnal
Perikanan. VII(2): 201-206.
Arfah, Hairanti
dan Papalia, Sagur. 2015. Kepadatan
Dan Keragaman Jenis Rumput Laut di Perairan Pesisir Teluk Weda, Propinsi Maluku
Utara, Jurnak Ilmu dan Teknologi
Kelautan. 7(2): 745-755
Benemann
JR. 1997. CO2 mitigation with microalgae
systems. J En Conv Mgmt.
Dewi, F.C. and Pratomo, A., 2012. STRUKTUR KOMUNITAS
FITOPLANKTON DI PERAIRAN SELAT BINTAN PULAU PENGUJAN KECAMATAN TELUK BINTAN KABUPATEN
BINTAN.[U25]
Dinas Kelautan dan Perikanan
Jepara, 2007. Penerapan Best Management
Practices (BMP) pada Budidaya Udang Windu (Penaeus monodon Fabricius) Intensif.
Direktorat Jenderal Perikanan Budidaya Balai Besar Pengembangan Budidaya Air
Payau Jepara.
Erlina, A dan Hastuti. 2007. Kultur Plankton.
Ditjenka-IDRC : Jakarta
Hariardi. 2011. Analisis Perubahan
Garis Pantai selama 10 Tahun Menggunakan CEDAS (Coastal Engineering Design and
Analisys System) di Perairan Teluk Awur pada Skenario Penambahan Bangunan
Pelindung Pantai. Buletin Oseanografi
Marina, Vol. 1: 82 – 94.
Haryadi. 2011. Analisis
Perubahan Garis Pantai selama 10 Tahun Menggunakan CEDAS (Coastal Engineering
Design and Analisys System) di Perairan Teluk Awur pada Skenario Penambahan
Bangunan Pelindung Pantai. Buletin
Oseanografi Marina, 1: 82 –
94.
Lakitan, B., 1994. Ekologi. PT. Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Palallo, Alfian. 2013. Distribusi
Makroalga Pada Ekosistem Lamun Dan Terumbu Karang Di Pulau Bonebatang,
Kecamatan Ujung Tanah, Kelurahan Barrang Lompo, Makassar. Skripsi. Universitas Hassanudin.
Romimohtarto, K dan Sri Juwana.
1999. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan
Tentang Biota Laut. Penerbit Djambatan. Jakarta.
Sari,
Fitria Yuli Anggita, I Made Aditya Suryajaya, Hadiyanto. 2012. Kultivasi
Mikroalga Spirulina platensis dalam
Media Pome dengan Variasi Konsentrasi Pome dan Komposisi Jumlah Nutrien. Jurnal Teknologi Kimia dan Industri.
Vol. 1(1):487-494.
Silitonga, B, et. Al. 2014. ANALISIS KANDUNGAN BAHAN
ORGANIK SEDIMEN DAN MAKROZOOBENTHOS DI PERAIRAN SELAT PANJANG KABUPATEN
KEPULAUAN MERANTI PROVINSI RIAU[U26]
Sumich. L., 1992. An Introduction To The Biology Of Marine
Life. Wmc Brown. Dubuque. Lowa.
Suparmi, Achmad Sahri. 2009. Mengenal Potensi Rumput Laut : Kajian Pemanfaatan Sumber Daya Ruput
Laut Dari Aspek Industri Dan Kesehatan. Sultan Agung, XLIV (118).
Suyarno,
Raden Rio, dan M. Fachrul AS. 2015. Studi tentang Perbedan Metode Budidaya
terhadap Pertumbuhan Rumput Laut Caulerpa,
Jurnal Kelautan Tropis. 18(1): 13-19
Sylvester,
B., Nelvy, dan Sudjiharno. 2002. Biologi
Fitoplankton, Budidaya Fitoplankton dan Zooplankton. Balai Budidaya
Laut Lampung, Lampung.
Taw,
N. 1990. Petunjuk Pemeliharaan Kultur
Murni dan Massal Mikroalga. Proyek Pengembangan
Udang, United nations development Programme, Food and
Agriculture Organizations of the United Nations.
Umar, R., 2013. Penuntun
Praktikum Ekologi Umum. Universitas Hasanuddin, Makassar. Arfah, Hairand dan Patty,
Simon I. 2014. Keanekaragaman Dan Iomassa
Makro Algae Di Perairan Teluk Kotania, Seram Barat, Jurnal Illmah Planx. 2 (2): 63-73
Widiyanto,
Arfan, Bambang Susilo, Rini Yulianingsih. 2014. Studi Kultur Semi-Massal
Mikroalga Chlorella sp Pada Area
Tambak dengan Media Air Payau (Di Desa Rayunggumuk, Kec. Glagah, Kab.
Lamongan). Jurnal Bioproses Komoditas Tropis Vol. 2 (1):1-7.
Wijanarko
dan E. S Murtini. 2007. Ekstraksi danStabilitas Betasianin Daun Darah (Alternanthera dentata) KajianPerbandingan Pelarut Air : Etanol dan
Suhu Ekstraksi. Jurnal Teknologi
Pertanian. Vol 8 (3).
[U2]Format
font , margin , spasi , dan penomoran ikuti pedoman tugas akhir
[U3]Ikuti
Pedoman tugas akhir
[U4]Urutan
tipus
1. Teluk
awur
2. Makroalga
3. Mikroalga
4. BBAP
Referensi usahakan 10 tahun terakhir
[U5]Format
font, spasi, margin , dan penomoran lihat di pedoman tugas akhir FPIK
[U6]Mana
pustakanya??
[U7]perbaiki
[U8]Tambah
Lugols
[U9]Tambahkan
deskripsi jangan skema kerja aja, fontnya ikuti format pedoman tugas akhir ,
dan perbaiki skemanya
[U10]Tambahkan
deskripsi jangan skema kerja aja, fontnya ikuti format pedoman tugas akhir ,
dan perbaiki skemanya
[U11]
Pembahasan lihat kelompok 4,5,6
[U12]Hasil
sampling mikroalga disertakan poto dan klasifikasi ditambah deskripsi seperi
makroalga
[U13]Klasifikasi
jangan di awal paragraf bahas dulu hasil lalu tambahkan grafik supaya pembaca
lebih memahaminya
[U14]perbaiki
[U15]Perbaiki
susunan kalimatnya . SPOK
[U16]Perbaiki
ya mikroalga ga dipisah
[U17]Pustakanya
mana??
[U18]Grafiknyamana
buat grafik untuk membantu pembaca lebih memahaminya
[U19]Penomoran
ikuti pedoman tugas akhir
[U20]Penomoran
ikuti pedoman tugas akhir
[U21]Diberi
keterangan gambarnya
[U22]Klasifikasi
jangan terpisah halaman seperti ini
[U23]Tabel
dilampiran
[U25]Penulisan
lihat di format tugas akhir
[U26]perbaiki
daftar pustaka tidak lengkap..
BalasHapus